Pelantang Rumah Ibadah, Bagaimana Cara Mengatur Suara Rumah Ibadah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 3 Maret 2022 | 17:00 WIB
Pemerintah Indonesia mencoba mengatur suara dari pelantang rumah ibadah. Akan tetapi, bagaimana semestinya suara rumah ibadah diatur? (Thinkstock)

"Banyak orang yang membicarakan polusi udara, tapi sedikit yang membahas polusi suara," lanjut Jeanny.

Polusi suara bisa diukur secara objektif lewat skala desibel. Desibel yang terlalu tinggi tidak hanya sekadar mengganggu pendengaran kita, tetapi juga hewan. Beberapa hewan mengandalkan kesunyian untuk keberlangsungan hidupnya.

Kini, beberapa hewan laut merasa kebisingan akibat aktivitas yang dilakukan manusia sehingga mereka menjauh untuk mencari perairan yang sunyi, seperti yang dikabarkan National Geographic Indonesia November 2021.

Baca Juga: Kesunyian yang Dirindukan Hewan Laut Terganggu Karena Kebisingan Kita

Baca Juga: Benarkah Ateis Tidak Bermoral Seperti Layaknya Umat Beragama?

Baca Juga: Kaum Ateis dan Agnostik di Indonesia Dibayangi Hantu-hantu Stigma

Menurut Jeanny, bising atau tidaknya suara menurut orang berbeda-beda (subjektif) karena berbagai faktor, mulai dari psikologis seseorang hingga lingkungan sekitar asal suara. Misal, pengeras suara ibadah akan terdengar kecil di lingkungan sibuk seperti pelabuhan karena beradu dengan suara lainnya, tetapi akan terdengar sangat besar ketika malam hari yang sunyi.

Perihal rumah ibadah, masjid punya peraturannya sendiri bagaimana pengeras suara digunakan. Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengontrol dan menyinkronkan suara seperti azanshalawatan, zikir, dan lain-lain. Kontrol seperti ini juga terjadi pada lembaga-lembaga gereja, vihara, dan pura, untuk batas tertentu untuk menyeimbangkan suara.

Namun, beberapa tempat tampaknya mengidahkan kontrol ini sehingga bersuara lebih lantang atau berbunyi di waktu yang lebih awal dari semestinya, salah satunya kumandang pengeras suara dari masjid yang jauh lebih awal dari azan subuh.

Gereja tua Sikka diterangi bulan purnama, ramai didatangi para jemaat yang mayoritas adalah penduduk kota Sikka menjelang ritus Logu Senhor digelar. (Valentino Luis/National Geographic Indonesia)

Padahal, para peneliti menjelaskan, setiap agama punya pedoman dalam kitab sucinya mengenai penggunaan waktu dan suara, seperti malam untuk beristirahat dan sebagainya.

Jeanny merujuk pada peraturan batas kebisingan suara yang dilakukan di negara lain yang disarankan bisa jadi bahan pertimbangan untuk mengatur suara rumah ibadah di Indonesia. 

Contohnya, di Uni Emirat Arab terdapat kebijakan yang mengatur batas bising tiap lingkungan berbeda. Peraturan itu mengatur, area reseptor perumahan dengan lalu lintas ringan diperbolehkan menghasilkan kebisingan 40-50 desibel di pagi hari, dan 30-40 di malam hari, dan 60-70 desibel dan 50-60 deseibel untuk kawasan industri.

Mengenai surat edaran Menag Yaqut, Jeanny menyarankan sebaiknya peraturan batas suara tidak hanya berlaku pada satu rumah ibadah saja (masjid). "Tidak hanya masjid saja yang menghasilkan suara, beberapa rumah ibadah juga menghasilkan suara agar bisa diratakan untuk semuanya," ujar Jeanny.

Peraturan seharusnya ditujukan untuk semua rumah ibadah, yang berguna menyeimbangkan suara dengan batasan suara di tempat yang beragam kebisingannya, demikian simpulnya.