Jalan Berliku Kaisar Augustus Mempersiapkan Penerus Takhta Romawi

By Sysilia Tanhati, Kamis, 3 Maret 2022 | 11:00 WIB
Meski menjadi orang paling berkuasa di Romawi, Augustus memiliki masalah pelik. Ketiadaan ahli waris dapat mengacaukan segala kerja kerasnya untuk Romawi. (Walters Art Museum/Wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Augustus bisa jadi merupakan orang yang paling berkuasa di Romawi Kuno. Kaisar Romawi pertama ini memerintah atas wilayah besar yang mencakup tiga benua. Ia juga memiliki kendali penuh atas pemerintah dan legiun kekaisaran.

Tidak memiliki saingan, Augustus membawa perdamaian dan stabilitas internal Romawi setelah era kekacauan dan perang saudara. Perdagangan, seni, dan budaya berkembang dengan Roma memasuki zaman keemasannya.

Ia membangun fondasi yang kuat dan bertahan lama untuk kekaisaran Romawi Kuno. Namun kaisar yang hampir sempurna ini memiliki satu kekurangan besar. Masalah yang begitu serius ini dapat menghancurkan segala usahanya terhadap Romawi. Terlepas dari upaya terbaiknya, Augustus kesulitan menemukan ahli waris untuk menjadi penerusnya.

Pencarian diawali dengan Marcellus dan Agrippa

Pada 23 SM, Roma dikejutkan dengan berita tentang Kaisar Augustus yang sakit parah. Kematian kaisar dapat mengakibatkan kekosongan kekuasaan, membawa kembali kekacauan dan kehancuran. Beruntung bagi Roma, Augustus cepat pulih. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: siapakah yang akan menggantikan sang Kaisar melanjutkan segala usahanya?

Seperti ayah angkatnya, Julius Caesar, Augustus tidak memiliki keturunan dan saudara laki-laki. Augustus harus bergantung pada tiga wanita di keluarganya: saudara perempuannya Octavia, putrinya Julia, dan istri ketiganya, Livia.

Calon pertama jatuh kepada keponakannya yang masih remaja, Marcus Claudius Marcellus. Untuk memperkuat garis keturunan, ia memaksa Julia yang berusia 14 tahun untuk menikahi Marcellus. Kemudian, ia memberikan beberapa jabatan tinggi di pemerintahan. Marcellus menjadi konsul—jabatan tertinggi Romawi (selain kaisar)—satu dekade lebih awal dari biasanya. Hubungan darah saja ternyata tidak cukup. Untuk memerintah kekaisaran, Marcellus membutuhkan semua pengalaman yang bisa dia dapatkan, serta rasa hormat dari rakyatnya.

Beruntung bagi kaisar, satu-satunya persaingan serius bagi Marcellus adalah teman masa kecil Augustus dan sekutu terdekatnya: Marcus Vipsanius Agrippa. Meski tidak memiliki hubungan darah dengan kaisar, Agrippa memiliki banyak kemampuan yang penting untuk kepemimpinan. Keterampilan bela diri dan keterampilannya sebagai komandan membuatnya populer di kalangan tentara — salah satu pilar utama masyarakat Romawi. Agrippa juga memiliki keterampilan teknik, bertanggung jawab atas proyek pembangunan besar di kekaisaran. Ia memiliki hubungan yang baik dengan Senat Romawi, yang harus menyetujui calon Augustus.

Meskipun memilih Marcellus, ketika dia jatuh sakit, Augustus memberikan cincin meterainya — simbol kekuatan kekaisaran — kepada teman tepercayanya. “Tindakan ini membuat Marcellus marah,” ungkap Vedran Bileta dilansir dari laman The Collector.

Takut akan kekacauan yang mungkin terjadi setelah kematiannya, Agrippa diaanggap tepat untuk memimpin kekaisaran dan mempersiapkan Marcellus untuk takhta.

Sayangnya, Marcellus meninggal di usia 19 tahun. Augustus kembali menghadapi masalah pelik pencarian pewaris baru.

Tidak hanya satu pewaris, namun beberapa

Segera setelah kematian Marcellus yang terlalu dini, Augustus beralih ke Agrippa, menikahkan teman terdekatnya dengan Julia. Kedua pria tersebut mendapat untung dari pernikahan itu. Posisi Agrippa yang sudah kuat semakin dikonsolidasikan karena secara resmi menjadi bagian dari keluarga kekaisaran. Pada Agrippa, Augustus menemukan rekan penguasa yang kuat dan setia.

Yang paling penting, persatuan antara teman dan putrinya meringankan kekhawatiran Augustus soal penerus. Agrippa dan Julia memiliki lima anak, tiga di antaranya laki-laki — semua calon pewaris takhta. Kaisar mengadopsi Gayus dan Lucius, merawat cucu-cucunya sejak usia dini untuk dipersiapkan menjadi kaisar.

Namun, kedua bocah itu terlalu muda untuk mengambil posisi politik atau militer, yang dibutuhkan untuk tahta. Karena itu, Augustus beralih ke kerabatnya yang lebih dewasa. Istri ketiganya, Livia, memiliki dua putra dari pernikahan sebelumnya.

    

Baca Juga: Persyaratan Jadi Pelayan Kaisar Romawi Elagabalus, Punya 'Organ' Besar

Baca Juga: Mengenal Messalina, Istri Kaisar Romawi Claudius yang Hobi Selingkuh

Baca Juga: Alasan Aneh di Balik Pembunuhan Kaisar-kaisar Romawi Kuno

   

Tiberius dan Drusus telah menjadi jenderal yang kompeten, mereka memainkan peran utama dalam ekspansi Augustan di Eropa barat laut.

Dengan semua calon yang potensial, semua berpikiran bahwa orang-orang itu akan bertahan hidup lebih lama dari kaisar yang lemah.

Kemudian pada 12 SM, Agrippa yang baru berusia 50 tahun tiba-tiba meninggal. Tidak berhenti sampai di sana, kedua ahli waris kesayangannya meninggal karena sakit dan terluka di pertempuran.

Sekali lagi, Augustus dihadapkan pada masalah ahli waris. Bahkan siatuasinya lebih pelik karena usianya yang semakin lanjut.

Putra ketiga Agrippa, Agrippa Postumus, dicabut dari garis warisan karena kekejaman yang berlebihan dan sikap pemarahnya. “Augustus tidak punya pilihan selain beralih ke putra Livia,” ungkap Bileta.

Tiberius, prajurit yang dipaksa jadi penerus kaisar

Alih-alih menanti takhta, satu per satu ahli waris Augustus memenuhi sarkofagus di mausoleum keluarga kaisar.

Pada 9 SM, putra bungsu Livia, Drusus tewas dalam kecelakaan aneh. Kematian Drusus membuat Augustus hanya memiliki satu ahli waris. Tiberius, prajurit penyendiri, tidak terlalu senang untuk naik takhta. Namun dia tidak punya pilihan.

Baca Juga: Akibat Kegilaannya, Kaisar Romawi Caligula Mati dengan Tragis

Baca Juga: Valerianus, Kaisar Romawi yang Mati dalam Hina oleh Raja Persia

Baca Juga: Sisi Lain Julius Caesar, Kaisar Romawi Kuno Dicap Pezina Buruk

   

Pada 11 SM, setahun setelah kematian Agrippa, Augustus memaksa Tiberius menceraikan istri (putri Agrippa, Vipsania) untuk menikahi Julia. Dianggap sebagai pion ayahnya, Julia tidak senang akan pilihan sang Ayah. Namun, tidak ada yang bisa melawan kehendak Augustus.

Pada tahun 4 M, Tiberius dipanggil kembali ke Roma, di mana Augustus mengadopsinya dan memproklamirkannya sebagai ahli waris.

Berakhirnya takhta Augustus

Tak ayal, suksesi itu berjalan mulus. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan Augustus, Tiberius mengambil alih kendali negara. “Ia menjadi kaisar dalam segala hal kecuali nama,” tutur Bileta. Setelah kematian Augustus, Tiberius jadi orang paling berkuasa di Kekaisaran Romawi.

Untuk memastikan kelangsungan kekaisaran, Augustus sempat menginstruksikan Tiberius untuk mengadopsi keponakannya, Germanicus. Tidak hanya itu, selain menunjuk Tiberius, Augustus juga menunjuk Germanicus sebagai kaisar selanjutnya setelah Tiberius.

Lagi-lagi rencana Augustus gagal dengan kematian tak terduga dari Germanicus pada tahun 19 M. Tiberius menyelamatkan putra terakhir Germanicus yang tersisa, cicit Augustus, Caligula, yang akan menjadi kaisar berikutnya. Garis keturunan Augustus, memberi satu penguasa lagi yaitu Nero. Ia menjadi kaisar terakhir dari dinasti kekaisaran pertama.

Bileta mengungkapkan, ”Dengan kematian Nero maka berakhirlah takhta yang disiapkan oleh Augustus.”