Sebaliknya, Yokoyama dan rekan penulisnya, Tarin Bigley, mempelajari murine roseolovirus. Virus tersebut ditemukan menginfeksi timus dan sel T tikus di alam liar. Mereka menemukan virus tersebut menginfeksi tikus yang baru lahir.
Dua belas minggu kemudian semua tikus mengalami gastritis autoimun atau radang perut, meskipun tidak ada tanda-tanda keberadaan virus di perut mereka. Jika virus segera dieliminasi dengan obat antivirus dalam beberapa hari pertama walaupun virus sementara masih aktif bereplikasi, tikus tidak akan mengalami gastritis tiga bulan kemudian.
Namun, jika para peneliti menunggu untuk memberikan antivirus sampai tikus berusia delapan minggu, setelah proses infeksi aktif selesai dan sebelum tikus menunjukkan tanda-tanda masalah perut. Obat antivirus tidak berguna sama sekali, tikus akan mengalami gastritis beberapa minggu kemudian.
Para ilmuwan telah mengetahui bahwa infeksi virus dapat menyebabkan autoimunitas jika beberapa protein virus menyerupai protein manusia normal. Antibodi yang dimaksudkan untuk menargetkan virus akhirnya juga bereaksi dengan sel manusia normal.
Para peneliti menemukan bahwa tikus dengan gastritis telah mengembangkan antibodi terhadap protein pada sel-sel di perut. Namun, mereka juga telah mengembangkan antibodi terhadap beragam protein normal yang terkait dengan kondisi autoimun lainnya.
Selain itu, mereka memiliki banyak sel T yang menargetkan protein normal tubuh sendiri dan perubahan lain pada populasi sel T yang mencondongkan sistem kekebalan ke arah autoimunitas.
Baca Juga: Gejalanya Sama dengan COVID-19, Apakah Flu Rusia dari Virus yang Sama?
Baca Juga: Bukti Pertama Omicron Menyebar ke Hewan Liar Baru Saja Ditemukan
Baca Juga: Apakah Masker N95 dan KN95 Aman untuk Digunakan Berulang Kali?
“Kami tidak berpikir gastritis autoimun adalah hasil dari mimikri molekuler karena kami mengamati respons autoantibodi yang begitu luas,” kata Tarin Bigley, MD, PhD.
Pengamatan bahwa tikus yang terinfeksi menghasilkan autoantibodi yang beragam menunjukkan bahwa infeksi murine roseolovirus di saat kecil menginduksi cacat luas pada kemampuan tubuh untuk menghindari penargetan proteinnya sendiri. Inilah mengapa para ilmuwan dalam penelitian ini memfokuskan penelitian mereka pada dampak infeksi pada toleransi pusat daripada mimikri molekuler.
Langkah selanjutnya adalah menyelidiki apakah proses serupa terjadi pada manusia.
"Penyakit autoimun manusia juga dapat terjadi melalui infeksi virus yang disingkirkan tetapi meninggalkan kerusakan yang dapat menyebabkan autoimunitas,” pungkas Yokoyama.
Yokoyama juga menekankan pasti ada faktor lain yang belum mereka pahami yang membuat beberapa orang lebih rentan terhadap efek autoimun dari infeksi roseolovirus. Sebab, hampir semua orang terinfeksi, tetapi kebanyakan orang tidak terkena penyakit autoimun. Temuan ini menjadi topik yang sangat penting untuk penyelidikan lebih lanjut.