Gereja Santa Maria de Fatima, Jejak Kediaman Sang Kapitan Tjioe

By Agni Malagina, Jumat, 4 Maret 2022 | 16:00 WIB
Banyak jalan menuju Gereja Santa Maria de Fatima. Salah satunya, kita dapat menyewa ojek sepeda yang mudah ditemui di sekitar Stasiun Jakarta Kota. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

   

“Ini hujan berkah lho, Mbak. Biar telat juga tetep berkah,” ujarnya. “Apalagi, gereja dapet berkah karena ikut pesta ulang tahun Kongco Fat Cu Kung Bio.”

Lucy menceritakan kepada saya tentang peran gereja saat perayaan di klenteng. “Gereja pasti membantu klenteng!” katanya. “Di sini mah semua damai kerja sama. Kalau gereja lagi Natalan, umat klenteng juga ikut njagain.”

Mempelai wanita yang telah melangsungkan pernikahannya di Gereja Santa Maria de Fatima. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Saya terkagum-kagum dengan semangat gotong-royong yang dimiliki warga seputar paroki. Terlebih, saya menyaksikan pemandangan ketika banyak juga ibu berjilbab turut menggotong tandu kimsin yang keluar dari Fat Cu Kung Bio!

Perjalanan saya berakhir di kedai kopi “Tak Kie” milik Koh Ayauw, yang meneruskan usaha milik orang tuanya. Kedai kopi legendaris ini berdiri sejak 1927 di Glodok. Seruput es kopi sore itu mengakhiri kisah saya mengunjungi satu dari sekian banyak bangunan bersejarah yang berfungsi sebagai rumah ibadah.

Santa Maria de Fatima, jutbio klenteng, dan ibu-ibu berjilbab yang menggotong patung dewa Fat Cu Kung telah membuka mata sanubari saya. Negeri ini menjadi besar karena keberagaman dan kebersamaan!

Ukiran kayu bersimbol Chi-rho dengan alfa dan omega, dalam bingkai corak Tionghoa yang berada di mimbar Gereja Santa Maria de Fatima. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)