Gereja Santa Maria de Fatima, Jejak Kediaman Sang Kapitan Tjioe

By Agni Malagina, Jumat, 4 Maret 2022 | 16:00 WIB
Banyak jalan menuju Gereja Santa Maria de Fatima. Salah satunya, kita dapat menyewa ojek sepeda yang mudah ditemui di sekitar Stasiun Jakarta Kota. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—“Pak, sudah berapa lama ngojek sepeda?” tanya saya.

“Wah, sudah lima belas tahun nih. Setiap hari saya berangkat dari Bogor naik KRL. Ngojek mulai jam sembilan pagi sampai jam dua.”

Inilah sepenggal obrolan urban, ketika saya menggunakan jasa ojek sepeda yang dikemudikan oleh Hamid. Ternyata, kami sama-sama datang dari pinggiran dan sama-sama menggunakan moda angkutan kereta andalan warga.

Kami melaju dari Stasiun Jakarta Kota menuju jantung pecinan kota, Glodok.

Ojek sepeda berhenti di pelataran bangunan gereja berlanggam Cina: "Santa Maria de Fatima". 

Saya berdiri terpukau menyaksikan bangunan gereja yang berarsitektur Fujian, Cina Selatan. Begitu berbeda dari bangunan di sekitarnya. Atapnya ekor burung walet, konon simbol kesejahteraan.

Ada juga aksara-aksara Han yang tergambar. Saya mencoba menerkanya. Karakter “An” yang bermakna kedamaian, “Fu” bermakna kesejahteraan, “Kang” bermakna kesehatan, “Shou” bermakna panjang umur.

Kabarnya, dahulu bangunan ini merupakan rumah Kapitan Cina di Batavia, bermarga Tjioe, yang hidup hingga awal abad ke-20. Kini, istana sang kapitan itu masih terpelihara, namun sudah terkungkung gedung sekolah dan rumah biarawati.

Peserta Kirab Budaya dan Ruwat Bumi melakukan ritual tatung. Sekolah Ricci yang berada di samping Gereja Santa de Fatima menjadi tempat berkumpulnya para peserta kirab, kelindan budaya di jantung Pecinan Jakarta Kota. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Kendati rumah sudah menjelma sebagai gereja, pembagian ruangannya masih mengikuti tradisi pecinan. Ada tiga bagian utama: bagian depan menjadi ruang utama gereja, bagian tengah merupakan ruang peralatan ibadah, dan bagian belakang menjadi ruang tinggal pastor paroki Santa Maria de Fatima. .

Awalnya, gereja ini dirintis oleh beberapa orang imam Jesuit pada 1950-an, yaitu Pater Conradus Braunmandl, Pater Zwaans, dan Pater Carolus Staudinger. Mereka mengadakan pelayanan gereja, sekolah, dan asrama. Sekolah yang mereka bangun bernama Sekolah Ricci. Nama Ricci diambil dari Mateo Ricci, seorang imam misionaris Jesuit yang masuk ke Cina dan menyebarkan misinya.

Pada 1953, para pater dibawah Vikaris Apolistik Jakarta, yang bertugas di Stasi Toasebio, membeli sebidang tanah seluas satu hektar dari Kapitan Cina.

Pastor Salvador mengenakan jubah emas yang bergaya Tionghoa saat memimpin acara pernikahan di Gereja Santa Maria de Fatima. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Saya berjumpa dengan Idris, salah seorang pengurus harian yang kerap menemui banyak tamu.  “Pengunjunganya juga bermacam-macam ya, sering juga wanita berkerudung juga masuk ke dalam gereja ini.” 

Dia melanjutkan, “Semua mengagumi arsitektur bangunan ini. Tidak ada sekat-sekat agama. Semua orang dengan aneka latar agama boleh masuk ke gereja ini kok.”

Santa Maria de Fatima berada di kawasan pecinan. Jangan heran jika gereja ini rutin mengadakan misa Imlek jelang tahun baru Cina. Uniknya, para pater memiliki jubah-jubah khusus bertuliskan karakter Cina, seperti yang diceritakan Idris kepada saya. “Sebagai bentuk penghormatan terhadap para umat di wilayah ini,” ujarnya. “Sudah sejak dahulu.”

Beberapa restorasi dilakukan oleh Gereja Santa Maria de Fatima untuk menjaga kelestariannya. Salah satunya adalah pengecatan ulang ukiran di ruang altar dengan warna emas untuk menjaga warna estetik khas Tionghoa, yaitu emas dan merah. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Idris mengatakan pihak gereja selalu turut berperan dalam pertemuan warga yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan dan budaya warga Pecinan Glodok. “Kita turut senang dengan acara klenteng tetangga kami,” pungkasnya.

Esok paginya, gereja tutup lebih awal. Petugas berkata kepada saya bahwa gereja ditutup untuk memberi kesempatan arak-arakan Klenteng Fat Cu Kung Bio. Rupanya tandu dan patung para dewa—biasa disebut joli dan kimsin—berbaris rapi di pelataran Sekolah Ricci.

Acara jutbio bermula pagi hari usai hujan deras yang baru saja melintas. Dalam hiruk pikuk acara kirab, seorang perempuan bernama Lucy memperkenalkan dirinya pada saya.

   

Baca Juga: Sisik Melik di Balik Aksara Cina di Papan 'Kopi Es Tak Kie' Glodok

Baca Juga: Lim Tju Kwet, Kaligrafer Aksara Han yang Tersisa di Pecinan Glodok

Baca Juga: Naskah Cina-Jawa, Jejak Budaya yang Terlupakan dalam Sejarah

   

“Ini hujan berkah lho, Mbak. Biar telat juga tetep berkah,” ujarnya. “Apalagi, gereja dapet berkah karena ikut pesta ulang tahun Kongco Fat Cu Kung Bio.”

Lucy menceritakan kepada saya tentang peran gereja saat perayaan di klenteng. “Gereja pasti membantu klenteng!” katanya. “Di sini mah semua damai kerja sama. Kalau gereja lagi Natalan, umat klenteng juga ikut njagain.”

Mempelai wanita yang telah melangsungkan pernikahannya di Gereja Santa Maria de Fatima. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Saya terkagum-kagum dengan semangat gotong-royong yang dimiliki warga seputar paroki. Terlebih, saya menyaksikan pemandangan ketika banyak juga ibu berjilbab turut menggotong tandu kimsin yang keluar dari Fat Cu Kung Bio!

Perjalanan saya berakhir di kedai kopi “Tak Kie” milik Koh Ayauw, yang meneruskan usaha milik orang tuanya. Kedai kopi legendaris ini berdiri sejak 1927 di Glodok. Seruput es kopi sore itu mengakhiri kisah saya mengunjungi satu dari sekian banyak bangunan bersejarah yang berfungsi sebagai rumah ibadah.

Santa Maria de Fatima, jutbio klenteng, dan ibu-ibu berjilbab yang menggotong patung dewa Fat Cu Kung telah membuka mata sanubari saya. Negeri ini menjadi besar karena keberagaman dan kebersamaan!

Ukiran kayu bersimbol Chi-rho dengan alfa dan omega, dalam bingkai corak Tionghoa yang berada di mimbar Gereja Santa Maria de Fatima. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)