Indra Penciuman Hilang Saat COVID-19, Tanda Ada Penyusutan Materi Otak

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 9 Maret 2022 | 15:00 WIB
Otak kita bisa menyusut karena infeksi COVID-19. Penyusutan ini terjadi pada materi bagian otak yang berhubungan dengan indra penciuman dan memori. (SciTechDaily)

Nationalgeographic.co.id—Seseorang yang terkena penyakit virus corona punya gejala yang bermasalah pada indra penciumannya. Bukan karena hidung tersumbat seperti pilek, melainkan penyakit ini menyusutkan materi di otak, utamanya yang terlibat dalam proses penciuman.

Tak hanya itu, penelitian terbaru juga melihat dampak pada bagian dan struktur otak lainnya, seperti pada bagian yang berhubungan dengan memori. Penelitian terbaru ini dipublikasikan di Nature, 7 Maret 2022, berjudul SARS-CoV-2 dikaitkan dengan perubahan struktur otak di UK Biobank.

Penelitian yang penulis utamanya Gwenaëlle Douaud dari Nuffield Department of Clinical Neurosciences, University of Oxford, Inggris, menemukan perbedaan struktur otak ini pada 401 orang, termasuk mereka yang yang dirawat inap dan yang tidak terlalu parah terinfeksi. Para peneliti mengevaluasi pemindaian otak mereka dari awal pandemi hingga April 2021 menggunakan MRI.

Kemudian mereka membandingkan hasil pindaian otak ini dari 384 orang yang tidak terinfeksi berdasarkan kesamaan usia, sosial ekonomi, dan faktor risiko seperti tekanan darah dan obesitas.

Pada kelompok yang terinfeksi, rata-rata mereka tertular COVID-19 sekitar 4,5 bulan sebelum dipindai untuk keduanya. Pemindaian MRI ini mengungkapkan pola penyusutan yang berbeda pada otak yang terinfeksi COVID-19, yakni kerusakan yang lebih luas dan terjadi di area berbeda dari perubahan normal yang muncul pada orang yang tidak pernah terinfeksi virus.

"Kami cukup terkejut melihat perbedaan yang jelas di otak bahkan dengan infeksi ringan," ujar Douaud di CNN

Dia bersama timnya menemukan materi abu-abu pada otak menyusut. Sebenarnya, Donaud menjelaskan, normal bagi orang untuk kehilangan sekitar 0,2 hingga 0,3 persen abu-abu setiap tahun di area yang berhubungan dengan memori otak seiringnya bertambahnya usia.

   

Baca Juga: Gejalanya Sama dengan COVID-19, Apakah Flu Rusia dari Virus yang Sama?

Baca Juga: Bukti Pertama Omicron Menyebar ke Hewan Liar Baru Saja Ditemukan

 

Walau pasien yang diamati juga ada yang berusia lansia, mereka mengevaluasi, orang yang terinfeksi COVID-19 kehilangannya bertambah 0,2 persen hingga dua persen.

"Kita perlu ingat bahwa otak itu benar-benar mudah berubah--maksudnya bisa menyembuhkan dirinya sendiri--jadi ada kemungkinan besar, seiring waktu, efek berbahaya dari infeksi akan berkurang," kata Douaud di BBC.

Namun, hal paling signifikan terkait hilangnya materi abu-abu terletak di area penciuman, meski belum diketahui jelas oleh para peneliti bagaimana penyerangannya. Mereka juga tidak tahu apakah semua varian virus corona apa yang menyebabkan demikian.

Douaud dan tim memandang, hilangnya informasi sensorik ini berpotensi menjelaskan kerusakan otak yang diamati. Mereka menimbang, mungkin virus corona dapat menginfeksi otak secara langsung atau virus dapat meicu respons imun inflamasi yang merusak otak secara tidak langsung.

  

Baca Juga: Butuh Booster Vaksin Untuk Menangkal Serangan Omicron yang Parah

Baca Juga: Alfa hingga Delta: Bagaimana Bisa Virus Corona Memiliki Banyak Varian? 

   

"Saya tidak tahu bahwa ada sesuatu yang menunjukkan satu atau lain cara pada saat ini," Jessica Bernard, ilmuwan saraf di Texas A&M University yang tidak terlibat dalam penelitian ini, berpendapat di Live Science tentang makalah ini. "Saya pikir jawabannya ada di udara."

Douaud mempertimbangkan, penelitian ini bisa dilanjutkan dengan pencitraan ulang dan pengujian para peserta dalam satu atau dua tahun.

Dia bersama tim juga mengingatkan bahwa temuan ini hanya jangka pendek, mengingat bahwa "meningkatkan kemungkinan tentang konsekuensi jangka panjang dari infeksi SARS-CoV-2 mungkin pada waktunya berkontribusi pada penyakit Alzheimer atau bentuk demensia lainnya."

Mengutip WGAL, ilmuwan saraf Richard Isaacson dari Florida Atlantic University Center for Brain Health yang tidak terlibat dalam penelitian ini berkomentar, temuan jangka panjang mungkin bisa ditemukan oleh para peneliti tetapi sulit ditentukan.

"Sangat sulit untuk mengetahui dampak klinis jangka panjang dan dampak kualitas hidup dalam situasi seperti ini," ujarnya. Sebab, ada banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi otak, dan bisa saja terjadi pada para peserta yang kelak diteliti kembali.