Selidik Eksistensi Organisasi Rahasia di Tasikmalaya 1902-1939

By Tri Wahyu Prasetyo, Selasa, 15 Maret 2022 | 12:00 WIB
Pada awal tahun 1937, Suhu Agung Belanda, H. van Tongeren, mengadakan kunjungan keliling ke loji-loji di Hindia. Gambar kunjungan ke loji De Hoeksteen- Batu Kunci di Sukabumi. (Th. Stevens/Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia dan Indonesia 1764-1962)

Nationalgeographic.co.id—Keberadaan Freemasonry pada masa Hindia Belanda bukanlah mitos belaka. Eksistensi organisasi rahasia tersebut berperan dalam mendorong tegaknya Kolonialisme Belanda dan gagasan Sekularisme terhadap agama di Nusantara.

Studi sejarah dilakukan oleh Faizal Arifin, Rahmat Mulya Nugraha, dan Taryadi, untuk mengkaji sejarah serta peran tokoh Freemason di Tasikmalaya. Penelitian bertajuk Sejarah Freemasonry Di Tasikmalaya,1902-1939 terbit dalam jurnal Jazirah pada tahun 2021 lalu.

Menurut Faisal Arifin selaku peneliti utama, Keberadaan Freemasonry sebagai organisasi yang berperan mengukuhkan kolonialisme belanda jarang dibahas oleh para sejarawan. Hal tersebut terjadi, salah satunya akibat eksistensi dan identitas organisasi Freemason sangat tersembunyi, sehingga sulit untuk dilakukan penyelidikan.

“bersumber pada arsip buku-buku catatan tahunan Loji Agung Hindia Belanda, diketahui banyak elit bumiputera yang turut serta menjadi seorang Freemason,” terang Faizal.

Peneliti menemukan catatan paling awal mengenai sejarah Freemasonry di Tasikmalaya, adalah bergabungnya Raden Somanah Soeria Di Redja pada abad ke-20. Beliau merupakan seorang Wedana dari distrik Tasikmalaya yang menjabat sejak 12 Agustus 1900.

Keikutsertaan Raden Somanah dalam Freemasonry diawali saat dirinya diterima di Loji ‘St.Jan’ pada 12 Januari 1901, di daerah Bandung.  Fakta bergabungnya Raden Somanah didasarkan pada sebuah surat laporan kegiatan loji di Bandung yang ditulis oleh R. B. M pada 14 Januari 1901.

Menurut Faizal, nama St. Jan berasal dari Santa Yohanes atau St. John yang mana merupakan tokoh penting dalam ajaran Freemasonry. Penamaan St. Jan sebagai nama Loji Freemasonry, telah digunakan di beberapa negara sejak ratusan tahun sebelum di Bandung.

Loji St. Jan Bandung, tempat Raden Somanah dilantik Freemason (Gedenkboek van de Vrijmetselarij in Nederlandsch Oost-Indie, 1767-1917)

Pengakuan Yohanes Pembaptis oleh Freemasonry sebenarnya merupakan satu pemikiran yang menentang gereja, “terdapat unsur-unsur Gnostik dalam injil Yohanes yang sangat berbeda dengan injil-injil lain,” ungkap Faizal. Pakar Alkitab dari jerman, Rudolf Bultmann mengatakan bahwa Injil Yohanes tidak berasal dari tradisi Kristen, bahkan menjadi agama tersendiri.

“dapat disimpulkan bahwa penghormatan terhadap Sint Jan bukan semata-mata menghormati ajaran Gereja namun merupakan sebuah penentangan seperti pemisahan diri terhadap agama-agama yang dianggap sudah mapan,” terang Faizal.

 Bagi organisasi Freemasonry, Santo Yohanes menunjukan kebaikan-kebajikan pada tingkat tertinggi yang seharusnya menjadi tujuan setiap loji Masonik. Nyatanya ajaran kebajikan kepada sesama manusia tersebut justru digunakan sebagai propaganda kepada kaum elit bumiputera agar tidak memusuhi kaum eropa dan menerima kolonialisme.

   

Baca Juga: Lambang di Situs Makam Sunan Gunung Jati: Freemason Ada di Cirebon?

Baca Juga: Coba Lihat ke Dalam, Bangunan Freemason yang Berada di New York

Baca Juga: Tujuh Perkara yang Mungkin Belum Anda Ketahui Tentang Fakta Freemason

   

“Oleh karena itu, Freemasonry sebagai organisasi maupun ajaran, dijadikan alat deradikalisasi yang strategis untuk mencegah potensi-potensi perlawanan terhadap kekuasaan Belanda.” Ungkap Faizal.

Pada waktu penerimaan Raden Somanah bersama enam anggota lainya, A.M. sebagai pemimpin ritual menyampaikan pidato yang secara khusus ditujukan pada anggota bumiputera. Isi pidato tersebut mengarahkan dan menunjukan tugas-tugas mereka untuk mempengaruhi pribumi.

Faizal menjelaskan, bahwa rincian isi pidato yang disampaikan A.M. kepada elit priyayi tersebut masih kabur. Namun, hal tersebut menunjukan bahwa Freemasonry dapat berpengaruh terhadap kepemimpinan kedua elit bumiputera melalui instruksi, saran, atau rekomendasi demi tujuan organisasi maupun kepentingan Kolonialisme Belanda.

“Kepentingan kolonial agar Freemason bumiputera secara tidak sadar dipengaruhi agar menerima dan berdamai dengan Kolonialisme ditunjukkan dengan mayoritas anggota loji Freemasonry didominasi oleh orang Eropa (Belanda),” ujar Faizal.

Komposisi keanggotaan Freemasonry pada masa Hindia Belanda, menunjukan 90% merupakan orang-orang belanda (Eropa) dan bagi golongan bumiputera tidak lebih dari 5%.

Selain Raden Somanah, terdapat tiga anggota Freemason yang bercokol di Tasikmalaya. Tiga orang tersebut adalah, L. G. Eggink, Stam, dan Onnen. Berbeda dengan Raden Somanah, ketiga anggota di muka merupakan warga berkebangsaan Belanda.