Nationalgeographic.co.id - Freemason bukanlah barang lama di Indonesia, dan diperkirakan masuk ketika Belanda menancapkan kolonialismenya di abad ke-18. Lebih dari 20 loji berdiri sejak era Hindia Belanda, dan beberapa di antaranya telah tutup karena invasi Jepang dan instruksi Soekarno tahun 1962.
Loji-loji itu tersebar di seluruh Hindia Belanda yang menandakan tersebarnya anggota Freemason saat itu.
22 Juni 2018, S Maryam Purwoningrum jurnalis Pojok Satu menemukan sebuah piringan keramik pada situs makam Sunan Gunungj Jati di Astana, Cirebon. Menurutnya benda-benda di sana berunsur Freemasonry.
Namun, Raffan Safari Hasyim, seorang filolog Cirebon, berpendapat bahwa keramik berlambang Freemasonry di sana tidak punya sangkut paut dengan persaudaraan besar itu. Sebab, orang Cirebon pada saat itu kemungkinan tidak mengenal organisasi itu, ujarnya di Radar Cirebon.
Temuan ini kemudian mengundang sejarawan untuk menelitinya. Salah satunya seperti yang dilakukan para peneliti yang dipimpin Asep Achmad Hidayat dari Magister Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, lewat publikasi di jurnal Agastya tahun 2020.
Menyanggah dari temuan tahun 2018, Asep dan tim menyatakan mustahil bila ada Freemasonry di masa Sunan Gunung Jati berkuasa di abad ke-15 atau ke-16, meski keramik di sekitarnya bersimbol demikian.
"Secara diakronik, tidak dimungkinkan Sunan Gunung Jati memiliki relasi dengan Freemasonry karena memiliki periode yang berbeda sampai 1,5 abad," tulis para peneliti. Sunan itu lahir di Mekkah tahun 1448 dan wafat 1568, sedangkan Freemasonry berdiri pada 1717 di London dan tahun 1756 di Belanda.
Lambang Freemason sejatinya adalah lambang sakral atas kepercayaan pagan yang dihargai para anggotanya. Tetapi, Asep dan tim menambahkan, jika demikian seharusnya keramik itu tertera di Lawang Sanga yang sakral dan bagian utama kompleks Astana Gunung Jati.
Baca Juga: Enam Mitos dan Teori Konspirasi Bulan yang Berkembang di Masyarakat
Lambang itu berbentuk Penggaris dan Jangka Pengukur, simbol yang dimaknai untuk memberi batasan dan menjaga pengikutnya, dan tetap terikat dengan anggotanya sebagai saudara. Lalu, huruf 'G' pada simbol memiliki makna Geometry atau God, sebagai kesakralan dan ilmu kelima (fifth science).
Lantas dari mana keramik dan simbol itu berasal? Para peneliti menelisik berbagai buku kolonialisme Belanda di Perpustakaan Nasional Jakarta dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Mereka mendapati, orang Eropa ketika berkunjung ke Keraton Kanoman Cirebon kerap memberikan keramik dan ubin halus sebagai hadiah. Hadiah kunjungan itu dijadikan koleksi karena adanya minat yang cukup tinggi, dan berbeda dengan Keraton Kasepuhan Cirebon yang sangat menjaga jarak dengan orang Eropa.
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR