Marcus Aurelius: Kaisar Romawi Baik Hati yang Juga Seorang Filsuf

By Utomo Priyambodo, Jumat, 18 Maret 2022 | 11:00 WIB
Patung Marcus Aurelius, Kaisar Romawi yang juga seorang filsuf. (Steven Zucker/Flickr)

Baca Juga: Septimius Severus: Bagaimana Orang Afrika Bisa Menjadi Kaisar Romawi?

Baca Juga: Elagabalus: Kaisar Romawi yang Dibenci, Mati Dibunuh dan Dimutilasi

    

Stoicisme Marcus bersifat unik. Tidak seperti para pendahulunya yang Stoic, kita melihat bagaimana sang kaisar mampu mengatasi kesulitan luar biasa yang dihadapinya.

Dia adalah orang yang sakit-sakitan, yang harus menghadapi intrik politik yang konstan, perang di perbatasan dan urusan keluarga yang sulit. Terlepas dari semua itu, ia masih mampu menjaga kendali emosinya, memerintah dengan tertib dan adil, dan tentu saja memupuk kebajikannya sendiri.

"Namun, dia tidak mendapatkan keberuntungan yang pantas dia dapatkan, karena dia tidak kuat secara fisik dan terlibat dalam banyak masalah selama hampir seluruh pemerintahannya. Tetapi bagi saya, saya lebih mengaguminya karena alasan ini, bahwa di tengah kesulitan yang hebat dan luar biasa, dia bertahan dan mempertahankan kekaisaran," tulis Dio mengenai Marcus Aurelius seperti dilansir World History Encyclopedia.

Marcus Aurelius adalah kaisar seluruh Romawi, seorang raja bagi ratusan ribu orang, serta seorang filsuf. Dia adalah raja filsuf Romawi selama sembilan belas tahun.

Sebagai seorang Stoic, Marcus memiliki rasa tanggung jawab yang tak tergoyahkan kepada orang-orang di bawahnya dalam hierarki. Dia adalah orang yang melayani dan akan melakukan semua yang diperlukan untuk melihat tujuannya terpenuhi.

Ketika suku-suku Jermanik mulai menyerbu perbatasan perbatasan utara, Marcus, ketimbang menaikkan pajak pada publik untuk mendanai kampanye, justru menjual semua harta kekaisarannya untuk membayar usaha itu. Dia melihat tindakan seperti itu tidak hanya sebagai tindakan yang perlu, tetapi tindakan yang diminta oleh tugasnya untuk berada dalam posisi kekayaan dan kekuasaan seperti itu.

Sang kaisar menjalani seluruh hidupnya sebagai seorang filsuf sejati. Dia berbicara seperti seorang filsuf dan dia memerintah seperti seorang filsuf.

Marcus memiliki ketenangan diri yang begitu besar, sehingga dia tidak pernah mengubah ekspresinya, baik dalam kesedihan atau kegembiraan. Sikap yang dikhususkan untuk filosofi Stoic ini telah dia pelajari dari guru-guru terbaik dan telah dia peroleh sendiri dari setiap sumber.