Ketika Sains dan Kearifan Lokal Raja Ampat Berpadu untuk Konservasi

By Utomo Priyambodo, Kamis, 31 Maret 2022 | 13:00 WIB
Mangrove di Raja Ampat. Nusantara memiliki tanaman pesisir yang memiliki potensi menyelematkan Bumi dari krisis iklim dan abrasi, seperti mangrove dan lamun. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

"Tapi itu keberhasilammya rendah, hanya 30 persen daya hidupnya," ucap Dadan.

Tim PKSPL IPB tidak putus asa. Mereka mempelajari ekosistem pesisir setempat dan melihat ada mangrove yang ditanam dengan diikat ke pancang. Ternyata masyarakat lokal di sana telah terbiasa menanam mangrove jenis Rhizophora mucronata dengan pancang yang ditancapkan ke pasir pesisir.

"Kebetulan ada mangrove tersisa belum dipasang di persemaian, terus ditalilah ke pancang yang ada di situ. Setelah dibiarkan, ternyata tumbuh dengan bagus."

Tim PKSPL IPB kemudian menerapkan kolaborasi antara metode kearifan lokal (local knowledge) dengan metode berbasis sains (scientific based). "Ketemulah metode yang mamanya metode korbon pancang. Korbon itu artinya buah korbon atau buah mangrove. Pancang itu artinya pancang. Jadi nanti buah mangrove itu ditali lima lenjer lima lenjer, kemudian itu ditali ke pancang yang sudah dipasakkan ke dasar pesisir," beber Dadan.

Metode korbon pancang dalam penanaman Mangrove hanya terjadi di Raja Ampat, Papua Barat. (Donny Fernando)

Mangrove yang ditanam lewat metode ini akhirnya bisa tumbuh dengan baik. Keberhasilannya di atas 95%.

Dadan menjelaskan mangrove yang ditanam berkelompok secara ilmiah terbukti lebih kuat dalam menahan gelombang. Apalagi dengan adanya pancang, berkat kearifan lokal Yensawai, ketahanan kumpulan mangrove ini akhirnya jadi lebih kuat lagi.

Yang unik, jenis mangrove yang digunakan dalam metode korbon pancang di pesisir Yensawai adalah Rhizophora mucronata. "Secara teori ilmiah, mucronata tidak suka tumbuh di substrat pasir. Dia sukanya tumbuh di substrat lumpur. Tapi di sini ternyata tumbuh di substrat pasir. Ini menggugurkan teori-teori ilmiah sebelumnya," sebut Dadan.

Dadan memaparkan bahwa dalam satu pancang ada rumpun 50 propagul yang ditancapkan. Lalu dalam jarak diagonal sejauh satu meter ada rumpun 50 propagul lainnya yang juga ditanam dengan pancang. Rumpun-rumpun ini ditanam berjarak secara zig-zag.

Penanaman 50 propagul secara berdempetan dalam setiap pancang ini meniru karakteristik mangrove di habitat asli. "Mereka hidup bergerombol," tambah Dadan.

Kearifan lokal lain yang Dadan dapat di Yensawai adalah terkait wadah yang dipakai untuk menanam propagul. Orang-orang di seluruh dunia umumnya memakai plastik (polybag) untuk wadah penanaman (nursery bag) ini. Namun orang-orang Yensawai Barat ternyata terbiasa menggunakan wadah yang terbuat dari daun pandan. Mereka menyebutnya sebagai kapowen.

Masyarakat lokal Yensawai Barat di Raja Ampat mengembangkan nursery bag baru dengan menggunakan daun pandan, bukan plastik. Tujuannya agar sampah plastik tidak mencemari laut. (Donny Fernando)

Yusefin Dimara (56), warga yang biasa menganyam daun pandan di Yensawai, menjelaskan bahwa daun pandan ini bisa dijadikan macam-macam barang. "Bisa dibuat wadah (nursery bag) seperti ini dan juga bisa dibikin noken. Ada juga dibuat bakul," ujarnya.

"Jadi nursery bag yang dipakai di sini terbuat dari daun pandan yang dianyam jadi nursery bag. Ini menjawab isu sampah plastik di lautan," pungkas Dadan.

Nursery bag baru dengan bahan dasar daun pandan baik untuk keberlanjutan, karena tidak mengandung sampah plastik. (Donny Fernando)