Ketika Sains dan Kearifan Lokal Raja Ampat Berpadu untuk Konservasi

By Utomo Priyambodo, Kamis, 31 Maret 2022 | 13:00 WIB
Mangrove di Raja Ampat. Nusantara memiliki tanaman pesisir yang memiliki potensi menyelematkan Bumi dari krisis iklim dan abrasi, seperti mangrove dan lamun. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—"Saya jamin di seluruh Indonesia metode korbon pancang hanya ada di sini. Karena saya sudah keliling Indonesia untuk lihat metode-metode penanaman mangrove."

Pernyataan itu keluar dari mulut Dadan Mulyana. Dia ahli mangrove dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB). Dadan bicara seperti itu saat National Geographic Indonesia berkunjung ke Desa Yensawai Barat, Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, Jumat pekan lalu.

Sebagai ahli mangrove, Dadan senang sekaligus terkejut karena bisa mendapatkan wawasan baru mengenai penanaman mangrove. Tak dinyana, seorang ahli mangrove dari pulau paling maju di Indonesia justru mendapatkan ilmu soal penanaman mangrove dari warga desa yang hidup di pulau kecil --pulau yang luasnya lebih kecil daripada luas Jakarta dan di sana cuma ada gedung sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), tak ada gedung sekolah menengah atas (SMA) apalagi universitas.

PKSPL IPB, lembaga tempat Dadan bekerja, adalah salah satu dari empat mitra kerja Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dalam menjalankan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang - Inisiatif Segitiga Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program - Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI) di Raja Ampat. COREMAP-CTI adalah program konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat yang bergulir berkat dana hibah sebesar 6,2 juta dolar AS (setara Rp89 miliar) dari Global Environmental Facility (GEF) yang dikelola oleh Bank Dunia (World Bank).

Setelah tim sosial dari PKSPL IPB mendatangi dan menyurvei sejumlah kampung/desa di Kepulauan Raja Ampat, lembaga yang terafiliasi dengan kampus negeri di Bogor itu akhirnya memutuskan untuk mengimplementasikan program rehabilitasi mangrove, lamun, dan karang di Desa Yensawai Barat. "Ternyata desa ini lebih membutuhkan, punya sumber daya untuk rehabilitasi, dan sudah terbiasa menerima program dari instansi lain," tutur Dadan.

Secara alami ekosistem pesisir tropis memiliki mangrove di bagian paling belakang atau tepi dekat daratan. Lalu ada lamun di tengah dan kemudian ada koral atau karang di depan untuk mengahadapi pasang surut arus laut. Ini adalah habitat tempat banyak hewan laut hidup dan mencari makan.

Orang-orang Yensawai Barat menyebut tumbuhan lamun sebagai andoi dan mangrove sebagai mangi-mangi. Yang menarik, buah mangrove yang mereka sebut aiwon ternyata biasa mereka jadikan sebagai makanan pokok seperti nasi. "Mangrove ini bukan cuma menahan abrasi, tetapi juga untuk ketahanan pangan."

Mangrove berperan penting dalam menjaga kelestarian pesisir laut karena menjaga bibir pantai dari abrasi. (Donny Fernando)

Rosita Infaindan (57), salah satu warga senior di Yensawai, mengatakan orang tuanya sejak dulu telah mengajarkan ia untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove. Sebab, buahnya bisa menjadi makanan, kayunya bisa menjadi material untuk membangun rumah, dan akarnya yang tumbuh kuat bisa menahan air laut agar tak menggerus pulau tempat tinggal mereka.

Sebelumnya pernah ada program-program menanam dan merehabilitasi mangrove di pesisir Yensawai. Tapi tidak pernah berhasil, kata Dadan. Propagul, buah mangrove yang telah mengalami perkecambahan dan dijadikan bibit, ketika ditancapkan di pesisir Yensawai pada akhirnya selalu hanyut terbawa arus.

"Dulu kami pelajari dan coba kami terapkan motode yang negara biasa pakai, namanya rumpun berjarak," jelas Dadan.

"Jadi kami menanam mangrove rapat sekali, polybag ketemu polybag. Itu dalam satu rumpun berisi 500 anakan mangrove. Nanti dikasih jarak dua meter lalu tanam lagi rumpun sejenis. Itu dicoba di sini dengan jenis-jenis mangrove Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata."

"Tapi itu keberhasilammya rendah, hanya 30 persen daya hidupnya," ucap Dadan.

Tim PKSPL IPB tidak putus asa. Mereka mempelajari ekosistem pesisir setempat dan melihat ada mangrove yang ditanam dengan diikat ke pancang. Ternyata masyarakat lokal di sana telah terbiasa menanam mangrove jenis Rhizophora mucronata dengan pancang yang ditancapkan ke pasir pesisir.

"Kebetulan ada mangrove tersisa belum dipasang di persemaian, terus ditalilah ke pancang yang ada di situ. Setelah dibiarkan, ternyata tumbuh dengan bagus."

Tim PKSPL IPB kemudian menerapkan kolaborasi antara metode kearifan lokal (local knowledge) dengan metode berbasis sains (scientific based). "Ketemulah metode yang mamanya metode korbon pancang. Korbon itu artinya buah korbon atau buah mangrove. Pancang itu artinya pancang. Jadi nanti buah mangrove itu ditali lima lenjer lima lenjer, kemudian itu ditali ke pancang yang sudah dipasakkan ke dasar pesisir," beber Dadan.

Metode korbon pancang dalam penanaman Mangrove hanya terjadi di Raja Ampat, Papua Barat. (Donny Fernando)

Mangrove yang ditanam lewat metode ini akhirnya bisa tumbuh dengan baik. Keberhasilannya di atas 95%.

Dadan menjelaskan mangrove yang ditanam berkelompok secara ilmiah terbukti lebih kuat dalam menahan gelombang. Apalagi dengan adanya pancang, berkat kearifan lokal Yensawai, ketahanan kumpulan mangrove ini akhirnya jadi lebih kuat lagi.

Yang unik, jenis mangrove yang digunakan dalam metode korbon pancang di pesisir Yensawai adalah Rhizophora mucronata. "Secara teori ilmiah, mucronata tidak suka tumbuh di substrat pasir. Dia sukanya tumbuh di substrat lumpur. Tapi di sini ternyata tumbuh di substrat pasir. Ini menggugurkan teori-teori ilmiah sebelumnya," sebut Dadan.

Dadan memaparkan bahwa dalam satu pancang ada rumpun 50 propagul yang ditancapkan. Lalu dalam jarak diagonal sejauh satu meter ada rumpun 50 propagul lainnya yang juga ditanam dengan pancang. Rumpun-rumpun ini ditanam berjarak secara zig-zag.

Penanaman 50 propagul secara berdempetan dalam setiap pancang ini meniru karakteristik mangrove di habitat asli. "Mereka hidup bergerombol," tambah Dadan.

Kearifan lokal lain yang Dadan dapat di Yensawai adalah terkait wadah yang dipakai untuk menanam propagul. Orang-orang di seluruh dunia umumnya memakai plastik (polybag) untuk wadah penanaman (nursery bag) ini. Namun orang-orang Yensawai Barat ternyata terbiasa menggunakan wadah yang terbuat dari daun pandan. Mereka menyebutnya sebagai kapowen.

Masyarakat lokal Yensawai Barat di Raja Ampat mengembangkan nursery bag baru dengan menggunakan daun pandan, bukan plastik. Tujuannya agar sampah plastik tidak mencemari laut. (Donny Fernando)

Yusefin Dimara (56), warga yang biasa menganyam daun pandan di Yensawai, menjelaskan bahwa daun pandan ini bisa dijadikan macam-macam barang. "Bisa dibuat wadah (nursery bag) seperti ini dan juga bisa dibikin noken. Ada juga dibuat bakul," ujarnya.

"Jadi nursery bag yang dipakai di sini terbuat dari daun pandan yang dianyam jadi nursery bag. Ini menjawab isu sampah plastik di lautan," pungkas Dadan.

Nursery bag baru dengan bahan dasar daun pandan baik untuk keberlanjutan, karena tidak mengandung sampah plastik. (Donny Fernando)