Perkembangan Lahan Gambut Pesisir di Indonesia Selama Ribuan Tahun

By Ricky Jenihansen, Minggu, 27 Maret 2022 | 16:00 WIB
Hutan rawa gambut yang masih asli di Semenanjung Kampar, Sumatra. (A. Hapsari)

Nationalgeographic.co.id - Studi baru yang dipimpin University of Göttingen menyelidiki perkembangan lahan gambut pesisir di Indonesia. Para peneliti menunjukkan bagaimana lahan gambut di wilayah pesisir di Sumatra dan Kalimantan di Indonesia berkembang selama ribuan tahun dan bagaimana iklim dan permukaan laut memengaruhi dinamikanya selama ini.

Untuk diketahui, lahan gambut tropis adalah salah satu penyerap karbon terbaik. Namun, jika rusak, mereka dapat menjadi penghasil karbon yang sangat besar. Misalnya oleh perubahan penggunaan lahan, degradasi atau kebakaran. Hal ini dapat menyebabkan pemanasan iklim yang lebih cepat.

Untuk memahami lebih lanjut tentang hal tersebut selama 17.000 tahun terakhir, para peneliti menganalisis dua inti gambut di Indonesia, masing-masing sepanjang lebih dari delapan meter. Hasil studi tersebut dipublikasikan di Global Change Biology dengan judul "Sea level rise and climate change acting as interactive stressors on development and dynamics of tropical peatlands in coastal Sumatra and South Borneo since the Last Glacial Maximum".

Para peneliti melakukan analisis jejak serbuk sari, spora, dan karbon, serta melakukan penanggalan karbon dan penyelidikan biogeokimia. Studi mereka menemukan bahwa ada konsentrasi karbon yang jauh lebih tinggi antara 9.000 hingga 4.000 tahun yang lalu (pertengahan Holosen), ketika permukaan laut bahkan lebih tinggi daripada sekarang.

Ini adalah tanda bahwa kebakaran hutan jauh lebih besar pada waktu itu. Kemudian, sekitar 3.000 tahun yang lalu, variasi periodik angin dan suhu permukaan laut yang tidak teratur (dikenal sebagai El Nino-Southern Oscillation atau ENSO) akan menyebabkan kekeringan berkepanjangan. Sehingga membuat hutan kering dan dengan demikian rentan terhadap kebakaran yang dipicu oleh petir.

Gambar yang menunjukkan dampak El Nino dan kenaikan permukaan laut yang terjadi bersamaan di masa lalu. (A. Hapsari)

Namun, bahkan saat ini, kebakaran lebih sedikit daripada di pertengahan Holosen sebelumnya, yang menimbulkan teka-teki. Sebuah petunjuk adalah bahwa selama periode awal pada periode pertengahan Holosen, para peneliti menemukan proporsi serbuk sari bakau yang tinggi.

Butir serbuk sari menunjukkan adanya hutan bakau yang tumbuh di sepanjang pantai di perairan asin. Kehadiran mereka merupakan indikator yang baik dari kenaikan permukaan laut dan peningkatan garam di ekosistem lahan gambut air tawar.

Garam berbahaya bagi vegetasi air tawar (pedalaman), yang kemungkinan menyebabkan daun dan cabang pohon lebih kering dan mati. Garam juga dapat mengurangi tutupan kanopi hutan dan kelembaban udara, yang merupakan salah satu faktor penting yang dapat mencegah meluasnya kebakaran di ekosistem lahan gambut.

Selain itu, kayu bakau merupakan bahan bakar berkualitas tinggi yang dapat terbakar dalam waktu lama dan mencapai suhu tinggi. Meningkatnya pohon kering atau mati dan ketersediaan kayu bakar berkualitas tinggi di samping penurunan tutupan kanopi dan kelembaban, semuanya dapat berkontribusi pada kebakaran yang lebih besar sejak saat itu.

 Baca Juga: Pusparagam Mahakam Tengah, Denyut Pelestarian Lanskap Gambut

 Baca Juga: Lahan Gambut Tropis Tertua di Dunia Ditemukan di Pedalaman Kalimantan