Nationalgeographic.co.id—Studi yang diterbitkan 12 Oktober 2022 di Astrophysical Journal berjudul The Cosmic Thermal History Probed by Sunyaev–Zeldovich Effect Tomography, telah menyelidiki sejarah termal alam semesta selama kurun waktu 10 miliar tahun terakhir. Ditemukan bahwa suhu rata-rata gas di seluruh alam semesta telah meningkat lebih dari 10 kali lipat selama periode waktu itu dan mencapai sekitar 2 juta derajat Kelvin hari ini, atau sekitar 4 juta derajat Fahrenheit.
"Pengukuran baru kami memberikan konfirmasi langsung dari karya penting oleh Jim Peebles, Peraih Nobel Fisika 2019, yang telah menyusun teori tentang bagaimana struktur skala besar terbentuk di alam semesta," kata Yi-Kuan Chiang, pemimpin penulis studi dan rekan peneliti di The Ohio State University Center for Cosmology and AstroParticle Physics.
Struktur skala besar alam semesta mengacu pada pola global galaksi dan gugus galaksi pada skala di luar galaksi individu. Itu terbentuk oleh keruntuhan gravitasi materi gelap dan gas.
"Saat alam semesta berevolusi, gravitasi menarik materi gelap dan gas di ruang angkasa bersama-sama menjadi galaksi dan kelompok galaksi," kata Chiang, seperti yang dilaporkan Tech Explorist. "Tarikannya sangat keras, sehingga semakin banyak gas yang disetrum dan memanas." imbuhnya. Temuan itu, kata Chiang, menunjukkan kepada para ilmuwan bagaimana mencatat kemajuan pembentukan struktur kosmis dengan "memeriksa suhu" alam semesta.
Para peneliti menggunakan metode baru yang memungkinkan mereka untuk dapat memperkirakan suhu gas yang lebih jauh dari Bumi, yang berarti lebih jauh ke masa lalu. Kemudian mereka akan membandingkannya dengan gas yang lebih dekat ke Bumi pada saat ini. Hasilnya, para peneliti telah mengonfirmasi bahwa alam semesta semakin panas dari waktu ke waktu karena keruntuhan gravitasi struktur kosmis, dan pemanasan kemungkinan akan terus berlanjut.
Untuk memahami bagaimana suhu alam semesta telah berubah dari waktu ke waktu, para peneliti juga menggunakan data cahaya di seluruh ruang angkasa yang dikumpulkan oleh dua misi, yaitu Planck dan Sloan Digital Sky Survey. Planck adalah misi Badan Antariksa Eropa yang beroperasi dengan keterlibatan besar dari NASA, sedangkan Sloan mengumpulkan gambar detail dan spektrum cahaya dari alam semesta. Kedua misi tersebut telah memberikan data penting bagi para peneliti.
Mereka menggabungkan data dari dua misi dan mengevaluasi jarak gas panas dekat dan jauh melalui pengukuran pergeseran merah, gagasan yang digunakan untuk memperkirakan usia kosmis di mana objek jauh diamati.
"Pergeseran merah" mendapatkan namanya dari cara panjang gelombang cahaya memanjang. Semakin jauh sesuatu berada di alam semesta, maka semakin panjang gelombang cahayanya. Para ilmuwan yang mempelajari kosmos menyebutnya sebagai pemanjangan efek pergeseran merah.
Baca Juga: Astronom Temukan Sinyal Aneh Berasal dari Pusat Galaksi Bima Sakti
Baca Juga: Bagaimana Otak Manusia Mengetahui Tentang Seisi Alam Semesta?
Baca Juga: Brian Skerry: Kita Masih Belum Tahu Banyak Tentang Planet Ini
Konsep pergeseran merah ini bekerja karena cahaya yang kita lihat dari objek yang lebih jauh dari Bumi lebih tua daripada cahaya yang kita lihat dari objek yang lebih dekat ke Bumi, di mana cahaya dari objek yang jauh telah menempuh perjalanan yang lebih panjang untuk mencapai kita. Fakta itu, bersama dengan metode untuk memperkirakan suhu dari cahaya, memungkinkan para peneliti untuk mengukur suhu rata-rata gas di alam semesta awal, yaitu gas yang mengelilingi objek yang lebih jauh, lalu membandingkan rata-rata itu dengan suhu rata-rata gas yang lebih dekat ke Bumi, atau gas pada hari ini.
Gas-gas di alam semesta saat ini, seperti yang ditemukan oleh para peneliti, mencapai suhu sekitar 2 juta derajat Kelvin, atau sekitar 4 juta derajat Fahrenheit, di sekitar objek yang lebih dekat ke Bumi. Itu berarti sekitar 10 kali suhu gas di sekitar objek yang lebih jauh dan lebih jauh lagi ke masa lalu.
“Alam semesta memanas karena proses alami galaksi dan pembentukan struktur. Ini tidak terkait dengan pemanasan di Bumi. Fenomena ini terjadi pada skala yang sangat berbeda. Mereka sama sekali tidak terhubung,” kata Chiang.