7 April 1994 dalam Kenangan, Genosida Manusia Terburuk di Rwanda

By Galih Pranata, Selasa, 5 April 2022 | 16:00 WIB
Kamp pengungsi Rwanda di Benako, Tanzania, pada tahun 1994. (Sebastiano Salgado)

Nationalgeographic.co.id—Pada tanggal 7 April 1994, kekerasan memicu gelombang kericuhan besar yang akan menjadi bagian dari episode genosida terburuk sepanjang sejarah Rwanda sejak Perang Dunia II.

"Terjadi pembantaian kepada sekitar 500.000 hingga 1 juta warga sipil Tutsi yang tidak bersalah dan Hutu moderat," tulis History dalam artikelnya berjudul Violence erupts in Rwanda, foreshadowing genocide.

Setelah pembantaian gelombang pertama, pasukan Rwanda berhasil mencegah intervensi internasional dengan pembunuhan 10 petugas penjaga perdamaian Belgia.

Tutsi merupakan kelompok minoritas yang terbentuk dari 10% dari populasi Rwanda, dimana mereka tidak menerima bantuan dari komunitas internasional, sekalipun PBB.

"Mereka tidak memerlukan bantuan internasional, meski PBB mengakui bahwa hanya 5.000 tentara yang dikerahkan pada awalnya akan menghentikan pembantaian besar-besaran," imbuhnya.

Akar langsung dari genosida 1994 dimulai pada awal 1990-an, ketika Presiden Juvenal Habyarimana, seorang Hutu, mulai menggunakan retorika anti-Tutsi untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di antara Hutu.

Dari ungkapan Habyarimana, dimulai pada bulan Oktober 1990, terjadi beberapa pembantaian terhadap ratusan etnis Tutsi.

Meskipun kedua kelompok etnis itu sangat mirip, berbagi bahasa dan budaya yang sama selama berabad-abad, undang-undang kenegaraan mewajibkan pendaftaran berdasarkan etnis.

Tempat pembantaian di paroki Rukara di Kabgayi, Rwanda, pada April 1994. (Gilles Peress/Magnum)

Pemerintah dan tentara mulai mengumpulkan Interahamwe (paramiliter Rwanda, yang bermakna 'mereka yang menyerang bersama-sama') dan bersiap untuk melenyapkan Tutsi dengan mempersenjatai Hutu dengan senjata dan parang.

Tutsi yang mengalami sejumlah diskriminasi, menolak berdamai dengan Hutu. Memasuki bulan Januari 1994, pasukan PBB di Rwanda memperingatkan bahwa pembantaian yang lebih besar akan segera terjadi.

Tutsi tidak merisaukannya dan memilih untuk menyerang Presiden Juvenal Habyarimana yang telah menyulut diskriminasi etnis di Rwanda.

"Konflik menjadi semakin para ketika pada tanggal 6 April 1994, saat Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang," terusnya.

  

Baca Juga: Kontroversi di Balik Tewasnya Jutaan Orang Armenia oleh Turki Utsmani

Baca Juga: Analisis DNA Raksasa Segorbe Singkap Genosida Etnis Muslim di Spanyol

Baca Juga: Studi: Ada 15 Ribu Yahudi yang Dibunuh Per Harinya Saat Holocaust

Baca Juga: Holocaust dan Perjalanan Kebencian yang Ditularkan oleh Nazi Jerman

  

Tidak diketahui apakah serangan itu dilakukan oleh Front Patriotik Rwanda (RPF), sebuah organisasi militer Tutsi yang ditempatkan di luar negeri pada saat itu, atau oleh ekstremis Hutu yang mencoba menghasut pembunuhan massal.

Bagaimanapun, ekstremis Hutu di militer Interahamwe, yang dipimpin oleh Kolonel Theoneste Bagosora, segera merespon dan beraksi, membunuh Tutsi dan Hutu moderat dalam beberapa jam setelah kecelakaan.

Penjaga perdamaian Belgia terbunuh pada hari berikutnya, faktor kunci dalam penarikan pasukan PBB dari Rwanda. Segera setelah itu, stasiun radio di Rwanda menyiarkan seruan kepada mayoritas Hutu untuk membunuh semua orang Tutsi di negara itu.

Tentara dan polisi nasional mengarahkan pembantaian, terkadang mengancam warga sipil Hutu untuk ikut melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Tutsi, jika bujukan tidak berhasil.

Peringatan Genosida Murambi adalah penghormatan kepada sekitar 45.000 orang Tutsi yang berlindung di sebuah sekolah, tempat mereka dibantai oleh para ekstremis Hutu. (Larry Towell/Magnum)

Alhasil, ribuan orang Tutsi (mayoritas warga sipil) yang tidak bersalah dibacok sampai mati dengan parang oleh tetangga mereka sendiri.

Dilansir dari History, terlepas dari kejahatan yang mengerikan, komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, ragu-ragu untuk mengambil tindakan apapun. Mereka salah menganggap genosida sebagai kekacauan di tengah perang suku.

Presiden Bill Clinton kemudian menyebut kegagalan Amerika dalam mengambil tindak untuk menghentikan genosida sebagai "penyesalan terbesar" dari pemerintahannya.

Pada musim panas, RPF telah mengalahkan pasukan Hutu dan mengusir mereka ke luar negeri dan masuk ke beberapa negara tetangga hingga berhasil menguasai seluruh Rwanda.

Namun, penyesalan tidak dapat dihindarkan karena pada saat itu, diperkirakan 75% atau sekitar 800.000 orang Tutsi yang tinggal di Rwanda telah dibunuh.