Studi Ungkap Potensi Kebakaran Besar di Pesisir Sumatra dan Kalimantan

By Utomo Priyambodo, Rabu, 6 April 2022 | 14:00 WIB
Lahan gambut di Kelurahan Kameloh Baru, Sabangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru mengungkap adanya pontensi kebakaran besar di pesisir Sumatra dan Kalimantan. Kebakaran besar ini bisa terjadi di lahan gambut tropis seiring dengan naiknya permukaan laut dan semakin panasnya iklim.

Sebagaimana yang banyak disampaikan, lahan gambut tropis adalah salah satu penyerap karbon yang paling efisien. Sisi sebaliknya, lahan gambut juga dapat menjadi penghasil karbon yang sangat besar jika rusak, misalnya oleh perubahan penggunaan lahan, degradasi atau kebakaran. Hal ini dapat menyebabkan pemanasan iklim yang lebih cepat, dan seperti timbal balik, pemanasan iklim juga bisa memicu kenaikan permukaan laut dan kebakaran besar.

Dalam penelitian yang dipimpin oleh University of Göttingen, para peneliti menunjukkan bagaimana lahan gambut di wilayah pesisir di Sumatra dan Kalimantan di Indonesia berkembang selama ribuan tahun. Penelitian ini juga menunjukkan bagaimana iklim dan permukaan laut memengaruhi dinamika lahan gambut di sana selama ini. Laporan hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Global Change Biology pada 21 Maret 2022.

Untuk menemukan lebih banyak tentang lingkungan gambut di sana selama 17.000 tahun terakhir, para peneliti menganalisis dua inti gambut yang masing-masing sepanjang lebih dari delapan meter. Mereka melakukan analisis jejak serbuk sari, spora dan arang, serta melakukan penanggalan karbon dan penyelidikan biogeokimia.

Studi mereka menemukan bahwa ada konsentrasi arang yang jauh lebih tinggi antara 9.000 hingga 4.000 tahun yang lalu (pertengahan Holosen), ketika permukaan laut bahkan lebih tinggi daripada sekarang. Ini adalah tanda bahwa kebakaran hutan pernah terjadi jauh lebih besar pada waktu itu.

Kemudian, sekitar 3.000 tahun yang lalu, variasi periodik angin dan suhu permukaan laut yang tidak teratur (dikenal sebagai El Nino-Southern Oscillation atau ENSO) menyebabkan kekeringan berkepanjangan, membuat hutan kering dan dengan demikian rentan terhadap kebakaran yang dipicu oleh petir. Namun, bahkan saat ini, kebakaran lebih sedikit daripada yang terjadi di pertengahan Holosen sebelumnya sehingga menimbulkan teka-teki. Yang menjadi petunjuk mengenai hal ini adalah para peneliti menemukan proporsi serbuk sari bakau yang tinggi selama periode awal pada periode pertengahan Holosen.

Asap pekat dari kebakaran lahan gambut di Plintung, Medan Kampai, Dumai, Riau. (Elisabeth Novina)

Butir-butir polen menunjukkan adanya hutan bakau yang tumbuh di sepanjang pantai di perairan asin. Kehadiran butir-butir polen ini merupakan indikator yang baik dari kenaikan permukaan laut dan peningkatan garam di ekosistem lahan gambut air tawar.

Garam berbahaya bagi vegetasi air tawar (pedalaman), yang kemungkinan menyebabkan daun dan cabang pohon lebih kering dan mati. Garam juga dapat mengurangi tutupan tajuk hutan dan kelembaban udara, yang merupakan salah satu faktor penting yang dapat mencegah meluasnya kebakaran di ekosistem lahan gambut.

Selain itu, kayu bakau merupakan bahan bakar berkualitas tinggi yang dapat terbakar dalam waktu lama dan mencapai suhu tinggi. Meningkatnya pohon kering atau mati dan ketersediaan kayu bakar berkualitas tinggi di samping penurunan tutupan kanopi dan kelembapan, semuanya dapat berkontribusi pada kebakaran yang lebih besar sejak saat itu.

  

Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19