Perjalanan menemukan kesejatian fitrah manusia ketika merebahkan diri dalam warna perayaan Idulfitri adat Sasak.
Oleh Syafiudin Vifick
Nationalgeographic.co.id—Satu malam sebelum terbit lebaran, Masjid Bayan Beleq bergempita. Para kiai adat Wetu Telu berbusana serba putih. Empat orang kiai kagungan atau ulama besar adat Sasak sedang duduk bersama 40 kiai santri.
Dalam suasana takzim, mereka membaca Alquran kuno yang ditulis tangan leluhur. Masjid kuno itu sungguh bersahaja. Berdinding gedek dan berangka kayu. Ukurannya sedikit lebih luas dari lapangan bulutangkis. Selepas pembacaan ayat suci, masyarakat bergantian masuk untuk menyerahkan zakat fitrah. Rupa zakatnya bukan hanya beras atau uang, tetapi juga hasil kebun dan ternak. Pembacaan kitab suci dan penyerahan zakat fitrah ini dilakukan hingga dini hari.
Desa Bayan, tempat masjid ini berada, seolah menghuni sebuah ceruk antara lautan dan barisan bukit-bukit di kaki Rinjani. Empat kiai kagungan menjadi panutan umat penjuru desa. Mereka adalah kiai penghulu selaku imam salat, kiai ketib selaku katib, kiai lebei selaku pengumandang azan, dan kiai modim selaku marbut.
Tidak semua orang diperbolehkan memasuki Masjid Bayan Beleq. Selain para kiai, hanya perwakilan masyarakat adat yang akan menyerahkan zakat yang diperbolehkan masuk. Mereka berjumlah antara tujuh sampai sepuluh orang. Mereka bertelanjang dada dengan kepala berikatkan sapuk. Busana bawahnya berupa londong abang atau kain tenun dengan warna dasar merah muda, yang dipadukan dengan rejasa atau ikat pinggang berupa kain tenun panjang berwarna merah kecokelatan dengan dekorasi geometris berwarna putih kelabu. Sekilas busana adat mereka mirip dengan busana adat Bali. Mereka bertelanjang dada dan tidak diperbolehkan menggunakan kain yang dijahit—termasuk celana dalam!
Malam itu saya beruntung karena pemuka adat mengizinkan saya untuk memasuki masjid dan mengikuti prosesinya. Gayung bersambut, seorang warga bersedia meminjamkan busana bawahan adat Sasak kepada saya. Sebelum mengabadikan upacara, seorang pemangku adat pun mengoleskan semacam ramuan kunyit pada dahi saya.
Layaknya warga, saya pun berbusana adat serupa. Angin malam mengembus dari lereng Gunung Rinjani. Suhu malam itu memang sungguh dingin. Saya pun menggigil— lantaran bertelanjang dada dan cuma mengenakan kain tanpa "pertahanan berlapis di dalamnya".
Setelan ini mengingatkan saya pada busana ihram, busana wajib saat berhaji. Kendati kedinginan, saya bertahan mengikuti prosesinya hingga selesai pada dini hari, tanpa masuk angin.
Esok harinya, mereka menggelar perayaan Idulfitri secara adat. Sama seperti lebaran umumnya, mereka menegakkan salat Idulfitri. Namun, imam dan jamaahnya hanya para kyai adat yang berjumlah 44 orang. Warga menyebut tradisi ini ngiring sareat lebaran tinggi—atau upacara adat yang mengiringi dan memperkuat perayaan Idulfitri. Tujuannya, menciptakan harmonisasi antara adat dan agama. Biasanya warga menunggu di luar masjid hingga salat selesai.