Wetu Telu dan Harmoni Lebaran Adat Sasak di Kaki Gunung Rinjani

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 9 April 2022 | 16:00 WIB
Alquran kuno dibaca secara bergantian oleh para kiai adat dan santri di Masjid Bayan Beleq. Keesokan paginya, mereka menunaikan ibadah salat Idulfitri. (Syafiudin Vifick/National Geographic Indonesia)

Selanjutnya, mereka bersalaman dengan para kiai. Sejatinya, perayaan Idulfitri secara agama telah digelar empat hari sebelum Idulfitri adat, sehingga mereka tetap menjalankan salat berjamaah. Uniknya, kedua hari raya itu memiliki waktu penyerahan zakatnya masing-masing.

Seorang warga mengatakan kepada saya bahwa perayaan lebaran adat ini sudah dilakukan masyarakat adat penganut Wetu Telu sejak berabad-abad lampau. Mereka meyakini, apabila tradisi turun-temurun ini tidak dilaksanakan, akan menjadi pemaliq—petaka bagi warga. Lebaran adat ini juga disebut dengan ngiring rebak jungkat yang dalam bahasa Sasak berarti merebahkan tombak. Dari warga, saya mengetahui kata “jungkat” atau benda tajam sering dimaknai sebagai kebencian. Jadi pada saat itulah kebencian dalam diri direbahkan dan laku memaafkan ditegakkan.

Para kiai adat dan santri melaksanakan salat Idulfitri di Masjid Kuno Bayan Beleq, setelah semalaman membaca Alquran secara bergantian, sementara masyarakat bergotong royong di desa adat masing-masing. (Syafiudin Vifick/National Geographic Indonesia)

Perayaan syukuran lebaran adat digelar di Kampu, sebuah lokasi yang dibatasi pagar bambu di dusun masing-masing. Kaum pria menyembelih sapi, kambing, atau ayam, hingga menyiapkan ancak atau anyaman bambu berlapis daun pisang, sebagai tatakan hidangan. Sementara itu kaum wanita menanak nasi, memasak sayur, dan membuat jajanan dengan beras yang wajib dicuci di mata air desa.

Acara mencuci beras ini disebut misoq beras. Saya mengikuti para wanita yang rapi berbaris dan berjalan beriringan dengan bakul beras di kepala. Mereka berkain songket dan selendang, namun tetap mematuhi aturan tanpa pakaian dalam.

Sebuah mata air bernama Lokoq Masan Segah, menjadi tujuan iring-iringan itu. Jaraknya hampir setengah kilometer dari lokasi perayaan syukuran lebaran adat. Mata air ini memang dikhususkan untuk mencuci beras. Bagi warga, mata air ini merupakan harta karun yang paling berharga peninggalan nenek moyang mereka. Atas alasan itulah mereka masih melestarikan dan menjaga lingkungan sekitarnya.

Potret orang Sasak di Desa Adat Bayan, Lombok. (Syafiudin Vifick/National Geographic Indonesia)

Prasyarat untuk para pencuci berasnya adalah perempuan yang tidak sedang dalam masa haid. Selain itu, mereka berpantang untuk berbicara di sepanjang jalan, pun tidak boleh menoleh dan memotong jalan barisan.

Para pria membawa hidangan dalam ancak ke Masjid Bayan Beleq. Para kiai bersiap untuk mendoakan ragam hidangan itu. Setelah didoakan, ancak-ancak itu dibawa kembali ke desa. Warga bersama-sama menikmatinya di Berugak Agung Bale Beleq dan di Kampu dengan cara makan bersama-sama—begibung demikian istilah mereka. Setiap ancak dimakan bersama-sama oleh empat hingga enam orang.

“Masyarakat percaya kalau menyantap makanan ancak ini, apa yang kita inginkan bisa berhasil. Karena itulah, setiap tahun ada saja orang yang datang melaksanakan saur sesange—membayar nazar,” tutur Nuning, tokoh masyarakat warga Dusun Karang Bajo.

Para pemangku menyembelih ayam di Kampu, Desa Adat Bayan, tempat berlangsungnya perayaan lebaran adat. Selain ayam, mereka juga menyembelih sapi dan juga kambing, yang nantinya untuk megibung, yakni makan secara bersama-sama. (Syafiudin Vifick/National Geographic Indonesia)

Malam harinya, para kiai berdoa di permakaman leluhur di sekitar masjid Bayan Beleq. Bersama mereka, saya khusyuk dalam doa hingga lewat tengah malam.