Makam Megah dan Nisan: Upaya Orang Mati di Romawi untuk 'Tetap Hidup'

By Sysilia Tanhati, Selasa, 12 April 2022 | 10:00 WIB
Makam dan batu nisan kuno berhasil membuat ingatan orang yang telah meninggal tetap hidup hingga hari ini. Pandangan orang Romawi terhadap kematian sangat kompleks. Namun yang pasti, kematian dan pemakaman dapat menunjukkan status sosial. (Mubler Jamie/Wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Pandangan orang Romawi terhadap kematian sangat kompleks dan tidak terbatas pada satu sudut pandang tertentu. Ini bisa mencakup kepercayaan tentang kehidupan setelah kematian hingga praktik pemakaman dan peringatan almarhum.

“Kematian dan pemakaman seringkali menjadi kesempatan untuk menunjukkan status sosial almarhum dan keluarganya,” ungkap Laura Hayward dilansir dari laman The Collector.

Makam berfungsi sebagai pengingat pedih leluhur masa lalu dan juga keturunan yang akan datang. Monumen kematian, seperti makam dan batu nisan, merupakan peringatan permanen yang penting bagi orang yang sudah meninggal.

Sebagian orang Romawi sangat percaya takhayul dan berusaha keras untuk menghindari semua yang berhubungan dengan kematian. Namun ada juga yang dikelilingi dengan representasi kematian, seperti patung-patung kerangka dan mosaik tengkorak. “Ini dijadikan pengingat akan kefanaan hidup dan pentingnya menjalani hidup dengan baik,” tambah Hayward.

Kepercayaan tentang kehidupan setelah kematian

Tidak ada keyakinan tetap atau dipaksakan tentang kehidupan setelah kematian di Romawi kuno. Namun sudah menjadi kesepakatan umum bahwa orang yang sudah meninggal akan pergi ke ‘Dunia Bawah’. Kepercayaan ini diadaptasi dari budaya Yunani.

Jiwa orang yang sudah meninggal juga dirayakan pada festival khusus yang diadakan dari tanggal 13 sampai 21 Februari. Setiap bulan Mei, orang Romawi mendoakan orang meninggal yang tidak terkubur.

“Selain itu, orang yang sudah meninggal juga diperingati setiap hari lahir dan tanggal kematiannya,” imbuh Hayward.

Orang mati juga tetap ‘hidup’ melalui citra. Di rumah tangga Romawi, terutama yang aristokrat, ada praktik membuat topeng cetakan dari wajah anggota keluarga. Beberapa topeng bahkan dibuat setelah seseorang meninggal.

Topeng-topeng itu kemudian disimpan dalam keluarga secara turun-temurun dan sering dipajang di aula utama rumah. Pada prosesi pemakaman keluarga, topeng leluhur dikenakan oleh anggota keluarga sebagai cara untuk mengenang leluhur.

Pemakaman orang Romawi

Kematian di Romawi kuno dianggap sebagai sesuatu yang dapat menginfeksi atau berbahaya bagi yang hidup. Hayward juga menambahkan, “Oleh karena itu ada pemisahan fisik yang ketat antara yang hidup dan yang mati.”

Sebuah batas ada di sekitar daerah berpenghuni, yang dikenal sebagai pomerium. Hanya di luar batas inilah orang mati dapat dikuburkan. Di luar pomerium, makam-makam berjajar di jalan utama masuk dan keluar dari kota-kota besar dan kecil.

Pembatasan ini juga berlaku bagi anggota keluarga almarhum selama periode berkabung, yang berlangsung selama delapan hari. Selama waktu ini keluarga akan mengisolasi diri dari masyarakat dan hanya masuk kembali ke masyarakat setelah pemakaman selesai.

Sebagian praktik masih dilakukan hingga saat ini, seperti menutup mata dan mulut orang yang meninggal.

Adat tentang kematian di Romawi bervariasi dari waktu ke waktu dan ini terutama berlaku untuk praktik penguburan. Kuburan Romawi paling awal yang ditemukan berasal dari abad ke-10 SM dan termasuk guci kremasi dan penguburan.

“Di era Republik Akhir, abad ke-2 dan ke-1 SM, kremasi tampaknya menjadi praktik yang paling umum,” Hayward mengungkapkan. Guci diisi dengan abu almarhum dan kemudian ditempatkan di dalam makam keluarga yang rumit. Kolumbarium komunal, struktur bata dengan banyak relung untuk guci pemakaman, juga digunakan karena harganya lebih murah.

Pada abad ke-2 dan ke-3, pemakaman kembali populer, diiringi dengan kebangkitan Kristen awal yang lebih menyukai pemakaman. Seperti di banyak budaya, warga kaya dimakamkan dengan benda-benda kuburan seperti keramik halus dan perhiasan berharga.

Prasasti peringatan

Peringatan hidup dan mati seseorang di Romawi sering dilakukan melalui makam dan prasasti batu nisan. Tugu peringatan ini digunakan oleh semua anggota masyarakat Romawi, mulai dari budak hingga kaisar.

Banyak orang Romawi percaya bahwa keabadian datang dari kehadiran seseorang yang hidup di hati. Keabadian makam batu dan tulisan di batu nisan memperkuat gagasan untuk memperpanjang ingatan akan kehidupan setelah kematian.

Asal usul tulisan di batu nisan Romawi berasal dari prasasti Yunani paling awal, dari abad ke-7 SM. Batu nisan Yunani dan Romawi biasanya penuh dengan informasi pribadi, meskipun dalam bentuk yang disingkat.

Makam unik milik tukang roti Romawi ini melambangkan 'profesinya'. 9 silinder menggambarkan alat pengaduk adonan. (Livioandronico2013/Wikipedia)

Isi prasasti umumnya terdiri dari berikut ini: doa; nama pemberi dan penerima, dan hubungan antara keduanya; sorotan pekerjaan dan karier; usia pada saat kematian. Terkadang tanggung jawab keturunan sehubungan dengan makam juga tercantum di prasasti.

“Semua ini dilakukan untuk memperpanjang ingatan terhadap orang mati, membangun hubungan dengan yang hidup,” tambah Hayward.

Batu nisan dan monumen kematian di Romawi memiliki banyak bentuk dan gaya yang berbeda. Tentu saja ini dipengaruhi oleh status sosial. Pemilihan prasasti yang elegan dan formal menjadi cerminan bagaimana almarhum dan keluarganya ingin dilihat oleh masyarakat.

Contoh monumen kematian yang menampilkan kekayaan dan status sosial dalam skala yang sangat besar adalah makam Eurysaces. Berada di Roma, makam ini masih berdiri sampai sekarang.

Baca Juga: Mengenal Mahar dan Jenis Perkawinan di Romawi Kuno, Seperti Apa?

Baca Juga: Cincin Berusia 2.000 Tahun Bukti Kisah Cinta Kaisar Romawi Caligula

Baca Juga: Ketika Homoseksualitas di Romawi Kuno Jadi Sebuah Status Sosial

Baca Juga: Mengapa Penis Sering Muncul dalam Seni Yunani Kuno dan Romawi Kuno?

   

Prasasti memberitahu kita bahwa Eurysaces adalah pembuat roti. Makam ini memiliki tinggi 10 meter dan didekorasi dengan dekorasi rumit yang menggambarkan berbagai tahap pembuatan roti. Relung melingkar yang besar memenuhi satu sisi makam dan beberapa ahli berpendapat bahwa ini menyerupai oven roti.

Ukuran dan dekorasi makam menunjukkan bahwa kehidupan setelah kematian penting bagi Eurysace. Jelas, ia ingin dunia terus mengingat namanya bahkan setelah ia wafat.

Dalam budaya Romawi, topik kematian sangat beragam. Ini menyangkut keyakinan tentang hidup setelah mati juga peringatan bagi mereka yang ditinggalkan. Di sisi lain, praktik kematian menjadi kenyamanan dalam kesedihan serta ajang memamerkan status sosial.

Nampaknya, apa yang diharapkan dari orang meninggal di masa lampau berhasil. Makam dan batu nisan kuno berhasil membuat ingatan orang yang telah meninggal tetap hidup hingga hari ini. “Karena tugu peringatan permanen inilah kita masih mengenal Eurysaces sang pembuat roti,” tutur Hayward.