Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Romawi bersifat patriarki. Pria Romawi diberikan otoritas untuk membuat aturan, sementara wanita diharapkan mengikutinya dengan patuh. Cinta, seks, dan pernikahan menganut paradigma yang sama.
Meskipun cinta romantis memang ada dan sering disebutkan dalam puisi, itu tidak memiliki tempat dalam hubungan perkawinan. Pernikahan antara pria dan wanita dilihat sebagai fondasi masyarakat Romawi, dan lebih merupakan transaksi bisnis daripada apa pun. Tujuan utama pernikahan adalah untuk menghasilkan anak.
Asal Usul Lembaga Perkawinan di Roma Kuno
Di Roma kuno, pernikahan adalah institusi monogami, yang berarti bahwa menurut hukum Romawi kuno, seorang warga negara Romawi hanya diizinkan memiliki satu pasangan dalam satu waktu. Monogami ini khususnya yang membedakan Romawi dan Yunani dari peradaban kuno lainnya, di mana poligini adalah praktik yang umum dan diterima secara luas.
Peradaban Yunani-Romawi terdiri dari negara-kota, yang memiliki sistem politik republik dan demokratis yang dipimpin oleh egalitarianisme; ini kemungkinan akan menjelaskan prevalensi monogami dalam peradaban ini.
Konsep pernikahan sendiri berawal dari mitologi Romawi, khususnya dari kisah penculikan wanita Sabine. Menurut mitos ini, tak lama setelah berdirinya Roma, Romulus mengamati bahwa hanya ada sedikit penduduk perempuan, yang berarti akan sulit untuk mempertahankan populasi kota.
Pria Romawi dipimpin oleh Romulus menculik ratusan wanita muda dari kota-kota sekitarnya, dengan tujuan membangun keluarga dengan mereka. Para wanita yang diculik itu dijanjikan pernikahan terhormat dengan tunjangan kewarganegaraan, properti, dan anak-anak. Manfaat-manfaat ini pada akhirnya akan menentukan dasar hukum pernikahan di Roma kuno. Penculikan massal ini telah menjadi subjek umum pematung dan pelukis dari periode Renaisans dan pasca-Renaisans.
Istilah 'matrimonium' sendiri mendefinisikan tujuan utama dari lembaga perkawinan, untuk menghasilkan keturunan yang sah. Awalnya, serikat pekerja membutuhkan persetujuan hukum dan moral dari kedua pihak yang terlibat. Akan tetapi, selama pemerintahan Augustus, ayah dari pengantin wanita diharuskan untuk memberikan alasan yang sah untuk menolak lamaran.
Jenis Pernikahan di Roma Kuno
Sesuai dengan struktur sosial patriarki Roma kuno, laki-laki tertua yang masih hidup (pater familias) dianggap sebagai kepala setiap keluarga Romawi. Pater familias memiliki otoritas penuh atas anak-anaknya dan (sampai batas tertentu) atas istrinya. Otoritasnya atas anak-anaknya meluas ke masalah pernikahan; dia tidak hanya memiliki hak, tetapi juga kewajiban untuk mencari pasangan yang cocok dan terhormat bagi anak-anaknya.
Usia persetujuan untuk menikah (sesuai hukum Romawi kuno) untuk anak-anak adalah 12 untuk anak perempuan dan 14 untuk anak laki-laki. Dalam kebanyakan kasus, wanita akan menikah di akhir usia belasan awal dua puluhan, tetapi anak perempuan dari keluarga bangsawan lebih mungkin untuk menikah lebih muda.
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR