Nationalgeographic.co.id—Budaya populer atau dalam buku sejarah mainstream sering menunjukkan manusia purba sebagai pemburu yang agresif, menggunakan tongkatnya untuk membunuh hewan buruannya.
Lantas, benarkah jika kebanyakan manusia purba sebenarnya adalah pemulung? Gagasan ini pertama kali diajukan oleh para ahli pada paruh kedua abad ke-20.
Gagasan tentang budaya memulung merupakan sebuah tantangan bagi tesis tentang anggapan sejarah, bahwa pria prasejarah akan berburu makanan dan wanita yang bertugas mengumpulkannya.
"Sementara berburu adalah tindakan membunuh hewan untuk makanan, mengais atau memulung membuat mereka menemukan sisa-sisa hewan yang sudah mati," tulis Becky Little kepada History.
Becky Little menulis dalam artikelnya yang berjudul Early Humans May Have Scavenged More than They Hunted yang dipublikasikan pada 9 Januari 2020.
Para arkeolog di awal abad ke-20 yang menemukan sisa-sisa tulang hewan dengan peralatan manusia purba, berasumsi bahwa manusia purba—atau lebih khusus lagi, manusia prasejarah—pasti memburu hewan-hewan ini untuk dimakan.
Namun, anggapan itu kemudian menjadi pertanyaan mendalam bagi para ahli di kemudian hari. Para ahli kemudian mencatat bahwa banyak dari alat-alat purba tampaknya lebih tepat untuk memotong tulang dan daging daripada benar-benar membunuh hewan buruan.
"Mengingat hal ini, manusia purba diperkirakan lebih mungkin hanya memakan sisa-sisa hewan dari tangkapan hewan buas lainnya yang lebih dulu memangsa," imbuhnya.
Beberapa bukti menarik untuk ini muncul dalam penelitian terbaru di Kanjera South, sebuah situs arkeologi berusia 2 juta tahun di Kenya.
"Memperhatikan bahwa ada beberapa temuan fosil kepala hewan berukuran cukup besar yang terdapat di lokasi tersebut, para peneliti berteori bahwa predator yang lebih besar mengalami kesulitan membuka tengkorak besar ini," lanjutnya.
Itulah yang lantas membuat tengkorak hewan besar tersedia bagi manusia purba untuk diangkut dan dibawa ke habitatnya, kemudian dipecahkan tulang tengkoraknya dan ditelan otaknya.