Kondisi Kejiwaan Pengaruhi Kemungkinan Infeksi Terobosan Covid 19

By Ricky Jenihansen, Senin, 18 April 2022 | 16:00 WIB
Kelompok usia di atas 65 tahun dengan gangguan kejiwaan lebih mungkin mengalami infeksi terobosan. (University of California)

Anehnya, mengingat insiden infeksi terobosan yang lebih besar di antara orang yang lebih muda, penelitian ini menunjukkan efek yang jauh lebih kecil pada kelompok di bawah 65 tahun. Selain itu, risiko 10 persen lebih rendah pada peserta dengan gangguan psikotik dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki diagnosis psikiatri.

Terjadi penurunan yang dikaitkan oleh O'Donovan dengan kemungkinan sosialisasi yang lebih rendah di antara orang yang lebih muda dengan gangguan psikotik dibandingkan dengan orang yang lebih tua yang "mungkin kurang terisolasi secara sosial karena beban mereka yang lebih besar dari kesehatan yang buruk dan kontak dengan pengasuh."

   

Baca Juga: Dua Tahun Pagebluk, Virus Corona dan Evolusinya yang Belum Berakhir

Baca Juga: Ancaman di Balik Melesatnya Gelombang Ketiga COVID-19 di Indonesia

Baca Juga: Bagaimana Manuver Perempuan Indonesia Merespons Dua Tahun Pagebluk?

Baca Juga: Bincang Redaksi-38: Ancaman Pagebluk Baru terhadap Ketahanan Pangan

   

Namun, risiko untuk infeksi terobosan yang terkait dengan penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan dan gangguan stres pasca-trauma semuanya lebih tinggi pada kelompok yang lebih muda daripada peserta tanpa diagnosis psikiatri, masing-masing 11 persen, 9 persen, 4 persen dan 3 persen.

"penurunan respons imunologis terhadap vaksin yang telah dikaitkan dengan beberapa gangguan kejiwaan, yang mungkin lebih substansial pada orang dewasa yang lebih tua," kata penulis pertama Kristen Nishimi, juga dari UCSF Weill Institute for Neurosciences dan San Francisco VA Health Care System.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa kondisi kejiwaan tertentu, terutama pada kelompok usia di atas 65 tahun, menghadapi risiko yang setara dengan kondisi lain. "Kesehatan mental penting untuk dipertimbangkan dalam hubungannya dengan faktor risiko lain dan beberapa pasien harus diprioritaskan untuk booster dan upaya pencegahan kritis lainnya," kata peneliti.