Imbas Letusan Gunung Ciremai bagi Kehidupan Cirebon Abad 18-19

By Galih Pranata, Selasa, 19 April 2022 | 12:00 WIB
Potret Gunung Ciremai dari Cirebon. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Pelabuhan Kota Cirebon yang sekarang, pada awalnya merupakan pelabuhan yang digunakan oleh Kongsi Dagang Hindia-Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

VOC mendudukinya sejak akhir Abad 17-18, sebelum akhirnya dikembangkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada pertengahan Abad ke-19, dengan dibangun pelabuhan baru di pesisir pantai Kota Cirebon di sebelah utara kanal pelabuhan lama.

"Pada tanggal 7 Januari 1681, VOC berhasil menandatangani kontrak internasional pertama dengan Kasultanan Cirebon. Isi kontrak menyepakati bahwa Cirebon bukan lagi vasal Susuhunan Mataram," tulis Mustaqim Asteja.

Mustaqim Asteja menulisnya dalam Prosiding Seminar Arkeologi di tahun 2021. Artikelnya berjudul Pengaruh Erupsi Gunung Ciremai Terhadap Morfologi Tata Ruang Kawasan Pelabuhan Cirebon Pada Masa Kolonial 1681–1942.

Sebaliknya, Kasultanan Cirebon memilih menjadi wilayah protektorat VOC yang berhak memonopoli perdagangan, seperti halnya lada, beras, kayu, gula, dan mengimpor opium, candu, serta diizinkan membangun loji atau benteng perlindungan di Cirebon.

"Pada 8 Maret 1686 kesepakatan pembangunan loji atau Benteng Cirebon direalisasikan dengan pembangunan benteng berbentuk empat persegi dilengkapi dengan senjata meriam untuk keamanan dan pertahanan benteng," imbuhnya.

Tepat di sebelah selatan Benteng Cirebon itu, Gunung Ciremai mantap menatapnya dari kejauhan. Gunung Ciremai merupakan gunung berapi yang berdiri sendiri dengan titik puncak tertingginya berada di ketinggian 3.078 mdpl.

Menelisik dari toponiminya, van Gent menyebut Cerimai (Ciremai) sebagai Schoone regenberg, Ceri berati cantik, dan meha berarti gunung hujan, atau gunung hujan yang cantik.

Menurut Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis dan geologis berkebangsaan Jerman, diketahui tercatat dua kali letusan Gunung Ciremai, yaitu pada tahun 1772 dan tahun 1805.

"Junghuhn tidak menginformasikan catatan apapun tentang bekas letusan tersebut yang terjadi bersamaan dengan bencana besar Gunung Papandayan," sambung Mustaqim Asteja.

Kawah di puncak Gunung Ciremai. (KITLV)

Mustaqim melanjutkan, "Ketika Junghuhn mendaki Gunung Ciremai pada tahun 1837, ia menemukan pohon pada ketinggian 200 meter di bawah puncak Ciremai yang berumur 32 tahun lebih tua dari sejak letusan terakhir."