Imbas Letusan Gunung Ciremai bagi Kehidupan Cirebon Abad 18-19

By Galih Pranata, Selasa, 19 April 2022 | 12:00 WIB
Potret Gunung Ciremai dari Cirebon. (KITLV)

Di tempat yang lebih tinggi vegetasi menunjukkan semua tanda-tanda usia mudanya. Dengan demikian dapat disimpulkan hanya tumbuh-tumbuhan di bagian atas gunung Ciremai yang hancur oleh lemparan batu, abu dan pasir pada saat letusan tahun 1805.

Erupsi Gunung Ciremai hanya memperburuk kondisi pelabuhan Cirebon dan benteng De Beschermingh Cheribon.

Lahar dan debu vulkanik akibat letusan gunung Ciremai mengalir ke muara sungai membentuk lumpur aluvial dan mempertinggi sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kota Cirebon.

Baca Juga: Siapakah Lelaki Eropa Pertama yang Mendaki Puncak Gunung Gede?

Baca Juga: Katak Pohon Mutiara Terlihat di Pangrango Setelah Delapan Tahun Hilang

 Baca Juga: Perlindungan Ciremai Jadi Polemik Warga dengan Pemerintah Kolonial

  

"Akibat letusan tersebut, Kota Cirebon selama tahun 1772-1773 dan 1805-1806 mengalami wabah epidemi yang hebat sekali, antara lain muntaber yang telah menewaskan ¼ bagian penduduknya," ungkapnya.

Pada tahun 1817, banyak ditemui penguburan mayat yang sembarangan dengan bau busuk yang menyengat di dalam Kota Cirebon. Hal ini akibat tidak adanya saluran pembuangan air kotor di dalam Kota Cirebon.

Banyak bangunan yang terbuat dari batu bata yang kosong dikelilingi pagar tembok tinggi malah menjadi sasaran tempat pembuangan.

Masyarakat menggunakannya untuk membuang sampah, air comberan, kotoran manusia, pembuangan air kolam para sultan, tanah paya, tempat pembuangan ikan yang sudah busuk apabila para nelayan terlambat mendarat di pelabuhan.

"Orang-orang pribumi menguburkan jenazah kurang dalam dan berada di dekat perumahan mereka," terusnya lagi.

Akibat tingginya sedimentasi dan ledakan benteng De Beschermingh Cheribon yang menimbun kanal pelabuhan tua Cirbon Revier tersebut tidak berfungsi maksimal.