Mengejar Target Penggunaan Energi Terbarukan demi Karbon Netral

By Utomo Priyambodo, Rabu, 20 April 2022 | 07:00 WIB
Pengurus pembangkit listrik tenaga hybrid (PLTH) matahari dan angin sedang membersihkan panel surya di Dusun Bondan, CIlacap, Jawa Tengah. (Hari Maulana)

Nationalgeographic.co.id—Dalam setiap diskusi tentang perubahan iklim, energi terbarukan biasanya menempati urutan teratas dalam daftar perubahan yang dapat diterapkan dunia untuk mencegah efek terburuk dari kenaikan suhu. Sebab, sumber energi terbarukan seperti sinar matahari dan angin tidak mengeluarkan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan global.

National Geographic pernah mencatat, selama sekitar 150 tahun terakhir manusia sangat bergantung pada batu bara, minyak, dan bahan bakar fosil lainnya untuk menyalakan segala sesuatu. Mulai dari bola lampu, peralatan elektronik hingga alat transportasi. Bahan bakar fosil tertanam di hampir semua hal yang kita lakukan, dan sebagai hasilnya, gas rumah kaca yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar tersebut telah mencapai tingkat historis yang tinggi.

Saat gas rumah kaca memerangkap panas di atmosfer yang seharusnya bisa lepas ke luar angkasa, suhu rata-rata di permukaan bumi meningkat. Pemanasan global adalah salah satu gejala perubahan iklim, istilah yang sekarang lebih disukai para ilmuwan untuk menggambarkan perubahan kompleks yang memengaruhi sistem cuaca dan iklim planet kita. Perubahan iklim tidak hanya mencakup kenaikan suhu rata-rata, tetapi juga peristiwa cuaca ekstrem, pergeseran populasi dan habitat satwa liar, naiknya permukaan air laut, dan berbagai dampak lainnya.

Tentu saja, seperti sumber energi lainnya, energi terbarukan juga memiliki trade-off dan perdebatan terkaitnya sendiri. Salah satunya berpusat pada definisi energi terbarukan.

Sebenarnya, energi terbarukan adalah apa yang mungkin Anda pikirkan: selalu tersedia, atau seperti yang dikatakan oleh Badan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), "hampir tidak ada habisnya." Namun, "terbarukan" tidak selalu berarti berkelanjutan, seperti yang sering diperdebatkan oleh para penentang bendungan besar pembangkit listrik tenaga air.

Sebagai contoh, secara teoritis tenaga air merupakan sumber energi bersih yang diisi ulang oleh hujan dan salju. Namun pembangkit listrik tenaga air ini juga memiliki beberapa kelemahan.

Pengaplikasian panel surya atau pembangkit listrik tenaga matahari di Pulau Piaynemo, Kepulauan Rajaampat, sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Bendungan besar dapat mengganggu ekosistem sungai dan masyarakat sekitar, merugikan satwa liar, dan menggusur penduduk. Pembangkit listrik tenaga air juga rentan terhadap penumpukan lumpur. Bahkan, pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas penuh menanggung masalah emisinya sendiri karena bahan-bahan organik yang membusuk di reservoir melepaskan metana.

Namun, jika kita sepakat memandang pemanasan global dan perubahan iklim sebagai suatu masalah besar, pembangkit listrik tenaga air ini tetap merupakan pilihan yang lebih baik. Sebab, upaya pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dan bahan bakar fosil lainnya juga tak lepas dari kontroversi lingkungan dan sosial, selain pastinya berkontribusi pada pemanasan global secara signifikan.

Selain itu, air bukanlah satu-satunya sumber energi terbarukan. Masih ada energi sinar matahari, angin, panas bumi, dan biomassa. Indonesia secara geografis dan kekayaan alam memiliki potensi besar untuk memanfaatkan semua sumber energi terbarukan itu.

Panel surya terbesar di dunia (theislandchief.com)

Banyak negara di dunia secara progresif telah menggunakan dan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) setiap tahunnya. Indonesia juga telah memulai dan terus mengembangkan potensi penggunaan EBT ini. Yang dimaksud EBT adalah semua energi terbarukan yang dihasilkan melalui teknologi baru.