Apakah Gaya Hidup Vegan adalah Solusi untuk Perubahan Iklim?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 21 April 2022 | 08:00 WIB
Tidak perlu menjadi seorang vegan atau vegetarian, perubahan kecil pada isi piring berpengaruh besar pada kesehatan dan bumi. (Anna Pelzer/Unsplash)

Nationalgeographic.co.id—Menurut laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kita hanya memiliki waktu 32 bulan –kurang dari tiga tahun– untuk bertindak bersama dalam membatasi pemanasan global. Sebelum tahun 2025, emisi gas rumah kaca akan mencapai puncaknya.

"Sekarang atau tidak sama sekali jika kita ingin membatasi pemanasan global hingga 1,5°C," ujar Jim Skea, ketua bersama laporan tersebut.

Tentu saja ada banyak cara untuk mengatasi krisis pemanasan global ini. Di antaranya adalah perubahan pada pertanian, sistem pangan, dan pola makan individu, termasuk veganisme.

Veganisme adalah topik yang memecah belah. Diejek oleh banyak orang, tapi juga dipuji sebagai penyelamat iklim oleh banyak orang lainnya.

Orang-orang yang mengadopsi gaya hidup vegan memiliki jejak karbon yang lebih rendah, dan semakin banyak yang mengikutinya, semakin sedikit kita bergantung pada peternakan –sebuah industri yang terkenal dengan dampak negatifnya terhadap lingkungan. Jika proporsi populasi yang cukup besar menjadi vegan, itu mungkin berdampak positif pada planet ini, tetapi dapatkah "menyelesaikan" masalah perubahan iklim?

Apa itu veganisme?

Dikutip dari IFLScience, veganisme adalah gaya hidup yang mengecualikan semua produk hewani, termasuk tidak makan daging, susu, dan telur.

Beberapa laporan mengatakan ada 79 juta vegan di dunia. Di Amerika Serikat, pada 2019, dilaporkan ada 9,7 juta orang vegan, yang merupakan peningkatan 30 kali lipat hanya dalam 15 tahun.

Ketika jumlah vegan terus meningkat, apa artinya ini bagi lingkungan? Untuk menjawab ini sepenuhnya, pertama-tama kita harus mempertimbangkan dampak pertanian itu sendiri terhadap planet ini.

Menurut laporan terbaru IPCC, pertanian dan penggunaan lahan lainnya adalah penyebab utama ketiga emisi gas rumah kaca, di belakang sektor energi dan industri. Penggunaan lahan, termasuk pertanian, bertanggung jawab atas 13 persen karbon dioksida, 44 persen metana, dan 82 persen emisi nitro oksida antara 2007 dan 2016.

Dan peternakan khususnya membuat sebagian besar dari ini. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan bahwa peternakan bertanggung jawab atas 14,5 persen dari semua emisi gas rumah kaca –sekitar 7,1 miliar ton karbon dioksida per tahun. Sementara studi lain menemukan bahwa daging menyumbang hampir 60 persen emisi gas rumah kaca global dari produksi pangan.