Nationalgeographic.co.id—Limbah adalah salah satu permasalahan lingkungan di Indonesia. Mulai dari polusi yang menghasilkan gas rumah kaca, hingga penyakit yang bisa menjangkit masyarakat sekitar jika limbah terbuang begitu saja.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementrian Lingkunghan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) tahun 2021, ada 19,6 juta ton per tahun timbulan sampah plastik dan kertas di Indonesia. Di sisi lain, ada 54 persen dari angka itu terbuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sedangkan sisanya mulai digunakan untuk industri daur ulang.
Pemerintah Indonesia, lewat Permen-LHK nomor P.75 tahun 2019, memikirkan pendauran ulang limbah sistemis di bidang industri, yang disebut ekonomi sirkular. Cara ini dinilai jadi jalan untuk menyelesaikan masalah limbah dan menyelamatkan Bumi.
"Permen-LHK P.75 ini selaras dengan UNEA (UN Environment Assembly) Resolution: End Plastic Pollution. Jadi kita enggak ketinggalan jauh," kata Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK.
"Sejalan ketika UNEA Resolution baru bicara end plastic pollution, kita sudah ada di situ. Tapi memang implementasinya yang harus kita sama-sama untuk melaksankan itu," lanjutnya di dalam dialog publik Menemukan Kembali Keseimbangan Hubungan Manusia dan Alam yang diadakan KLHK pada Jumat, 22 April 2022. Dialog itu diadakan untuk menyambu konferensi internasional Stockholm +50 di Swedia mendatang.
Seperti apa ekonomi sirkular yang dimaksud?
Rosa menjelaskan, ekonomi sirkular adalah pendekatan untuk semua kegiatan, mulai dari produksi hingga konsumsi untuk meminimalkan penggunaan sumber daya dan timbunan limbah. Sumber daya dan beberapa bahan industri juga menggunakan limbah, agar tidak ada yang terbuang sia-sia.
"Kalau kita melihat business as usual, untuk sampah itu dibuang ke TPA--kumpul, angkut, buang. Untuk limbah B3, biasanya pakai landfill (tempat pembuangan) atau kemudian ditimbun, dan sebagainya," terangya. "Kalau kita lihat ekonomi sirkular, itu juga menjadi salah tools untuk implementasi pembangunan rendah karbon. Karena prinsip utamanya mengurangi limbah dan polusi, penggunaan material selama mungkin."
Pada konsep ini, semua pihak terlibat, mulai dari pemerintah pusat, daerah, pelaku bisnis, media, dan termasuk masyarakat.
Misalnya pada produk kosmetik. Produsen menggunakan menggunakan sumber daya alam untuk menjadi kemasan parfum, dan menghasilkan limbah industri. Limbah itu diatur dalam peta jalan pengurangan sampah untuk produsen.
Tidak hanya produsen, peraturan peta jalan pengurangan sampah juga mewajibkan manufaktur, ritel seperti mini market dan pasar, hingga restoran, untuk merawat kembali sampah yang dihasilkan. Sampah yang dihasilkan diwajibkan untuk didesain ulang menjadi kemasan atau produk yang lebih ramah lingkungan.