Baluarti Romawi Menjadi Penanda Batas Kuasanya 2.000 Tahun Silam

By National Geographic Indonesia, Jumat, 29 April 2022 | 20:32 WIB
Tembok Romawi Kuno di Emona, Ljubljana, Slovenia. (Riley A Arthur/National Geographic)

Sejumlah markas militer kerap merupakan instalasi yang dibentuk khusus. Markas itu di­bangun untuk mengawasi sungai dan rute penting lainnya untuk mengirimkan perbekalan. Kata bahasa Latin untuk perbatasan, limes (dibaca li-mes), berarti jalan yang diawasi.

Pos jaga di sungai seperti di Rhine dan Danu­be atau di gurun di sisi timur dan selatan Roma sering kali mirip pos polisi atau pos patroli per­batasan. Semua pos itu pasti tak banyak guna­­nya jika berhadapan dengan pasukan pe­nyerbu, tetapi sangat efektif untuk tentara yang bertugas menangkap para penyelundup, mengejar kelompok kecil bandit, atau mungkin mengutip biaya cukai. Tembok yang dijaga segelintir petugas di Inggris mirip dengan pos jaga di Jerman. “Di sana tembok itu memiliki tujuan praktis,” kata Benjamin Isaac, ahli sejarah dari Universitas Tel Aviv. “Tembok itu berfungsi seperti pagar kawat berduri di zaman modern—untuk mencegah masuknya orang atau kelompok kecil.”

Isaac berpendapat bahwa perbatasan itu mirip dengan instalasi modern tertentu, bukan benteng zaman pertengahan berdinding tebal: “Lihat saja tembok yang dibangun Israel untuk menghalangi Tepi Barat. Tembok itu tak dimaksudkan untuk menghalangi pasukan Iran, melainkan menghalangi orang melakukan bom bunuh diri di bus di Tel Aviv.” Menghalangi teroris bukan hal yang memotivasi bangsa Romawi dulu, tetapi banyak faktor lain—seperti sekarang. “Yang direncanakan Amerika Serikat antara negaranya dan Meksiko memang penting,” kata Isaac, “dan itu hanyalah untuk menghalangi orang yang ingin mencari pekerjaan kasar di New York.”

Romawi barat jatuh karena serangkaian perebutan kekuasan. Akibatnya, Romawi barat melemah secara politik dan diisi dengan pemberontakan dan separatisme. (Heritage Images)

SELAMA BERABAD-ABAD para kaisar meng­gunakan ancaman, pencegahan, dan penyuapan langsung untuk mengamankan perdamaian. Romawi terus-menerus berunding dengan para kepala suku dan kerajaan di luar perbatasannya. Diplomasi menciptakan daerah penyangga para raja sekutu dan kepala suku yang setia untuk melindungi perbatasan dari suku yang kejam dan bertempat tinggal jauh.

Sekutu yang setia juga dianugerahi hadiah, senjata, serta bantuan dan pelatihan militer. Kaum Barbar yang ramah kadang bertugas untuk pasukan tentara Romawi; Vindolanda dihuni oleh unit-unit yang direkrut dari kawasan yang sekarang dikenal sebagai Spanyol, Prancis, Belgia, dan Belanda. Para pengayuh tongkang Irak pernah menyusuri sungai-sungai di Inggris  di bawah bendera Romawi, dan para pemanah Suriah mengawasi pedesaan yang suram.

Perdagangan juga merupakan alat bantu ke­bijakan luar negeri: Komisi Romawi-Jerman di Frankfurt, bagian dari Institut Arkeologi Jerman, memiliki pangkalan data yang ber­isi lebih dari 10.000 artefak Romawi yang di­temukan di luar perbatasan. Senjata, koin, dan barang seperti gelas dan gerabah ditemukan hingga di Norwegia dan area Rusia masa kini. Kebijakan luar negeri Romawi tidak seluruhnya serba indah. Balas dendam juga merupakan taktik yang disukai.

Mereka menghabiskan waktu tujuh tahun untuk membalas kekalahan telak yang dialami pada tahun 9 di Jerman. Ahli sejarah Tacitus menjelaskan bahwa ketika menang di medan perang, Jenderal Germanicus “melepaskan tutup kepalanya dan meminta anak buahnya untuk melanjutkan pembantaian itu karena tak ingin ada tawanan, dan pembasmian seluruh negeri itu adalah satu-satunya tanda bahwa perang sudah berakhir.”

Hadrian juga menyerbu populasi yang me­nimbulkan masalah. Pada tahun 132, dia me­madamkan pemberontakan kaum Yahudi dengan serangan kejam yang berkepanjangan. Salah seorang ahli sejarah Romawi mengatakan, serangan itu menewaskan setengah juta orang Yahudi. Ia menambahkan, “Sementara itu, jumlah yang musnah akibat kelaparan, penyakit, atau kebakaran, mustahil ditetapkan.” Nama provinsi diubah dari Judea menjadi Suriah-Palestina untuk menghapus semua sisa-sisa pemberontakan itu.

Kabar tentang kekejaman itu jelas membuat musuh Romawi berpikir dua kali sebelum me­lintasi garis perbatasan. “Pax Romana (Perdamaian Romawi) tidak dimenangi semata-mata setelah serangkaian pertempuran,” kata ahli arkeologi Ian Haynes dari Universitas Newcastle. “Pax itu ditegaskan berulang-ulang dengan cara yang kejam.”   

Baca Juga: Lima Metode Eksekusi Mati yang Paling Mengerikan di Era Romawi

 Baca Juga: Poena Cullei, Hukuman Mati dengan Karung yang Mengerikan di Era Romawi