Nationalgeographic.co.id—Mungkin Anda kenal dengan perkataan "Bakso kayaknya enak, ya?" atau "Malam ini saya ingin makan yang pedas-pedas". Kita punya rasa keinginan memakan sesuatu, bukan hanya suatu waktu, bahkan bisa setiap harinya.
Ternyata, kemungkinan keputusan atau keinginan itu bukan berasal dari kita sendiri, melainkan mikroba di dalam usus kita. Sebuah studi diterbitkan di jurnal Proceeding of the National Academy of Sciences dari University of Pittsburgh, AS, mengungkapkannya.
Makalah itu berjudul "The gut microbiome influences host diet selection behavior" dan diterbitkan pada 19 April 2022. Dua peneliti, Brian Trevelline dan Kevin Kohl, menjelaskan bahwa mikroba dalam memengaruhi apa saja pilihan untuk dimakan lewat zat yang mendorong keinginan untuk berbagai jenis makanan.
"Kita semua memiliki dorongan itu—seperti jika Anda merasa perlu makan salad atau benar-benar perlu makan daging," kata Kohl, penulis makalah dari Department of Biological Sciences, University of Pittsburgh.
Penelitian itu diamati pada usus tikus. "Penelitian kami menunjukkan bahwa hewan dengan komposisi mikroba usus yang berbeda memilih jenis makanan yang berbeda," jelasnya.
Sebenarnya, sudah berpuluh-puluh tahun lamanya para ilmuwan berspekulasi tentang peran mikroba dalam memengaruhi pilihan makanan kita. Akan tetapi, para peneliti lewat rilisnya menjelaskan, gagasan itu tidak pernah diuji langsung pada "hewan yang lebih besar dari lalat buah".
Trevelline dan Kohl mengamati 30 tikus yang tidak punya mikroba usus campuran mikroorganisme berbeda. 30 tikus itu adalah tiga spesies pengerat liar dengan diet alami yang sangat berbeda.
Dalam pengamatannya, tikus di setiap kelompok memilih makanan dengan kandungan nutrisi yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa mikrobioma di dalam perut tikus-tikus itu mengubah diet pilihan mereka.
Triptofan merupakan salah satu asam amino yang dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi dalam tubuh. Berkatnya, kita bisa punya suasana hati jadi lebih positif.
Perbedaan tingkat triptofan dalam darah tikus ditemukan oleh kedua peneliti itu yang mikrobiomanya berbeda. Bahkan, mereka menjelaskan, perbedaan itu terjadi sebelum tikus-tikus itu diberi pilihan untuk makanan yang berbeda. Tikus yang lebih banyak molekul di dalam darah adalah yang punya banyak bakteri di dalam usus.
Baca Juga: Apakah Gaya Hidup Vegan adalah Solusi untuk Perubahan Iklim?
Baca Juga: Kebanyakan Anak-Anak Vegetarian Mendapat Nutrisi Sebaik Pemakan Daging
Baca Juga: Diet Rendah Garam: Diet Khusus Bagi Penderita Penyakit Hipertensi
"Triptofan adalah asam amino esensial yang umum di kalkun tetapi juga diproduksi oleh mikroba usus," kata Trevelline, penulis makalah. Selama, ini banyak yang menganggap hubungan perilaku menentukan makanan dan mikrobioma terdengar tidak masuk akal.
Produk sampingan dari pencernaan ini menandakan bahwa Anda sudah makan cukup atau membutuhkan jenis nutrisi tertentu. Akibatnya, berpotensi membajak jalur komunikasi dari usus dan otak, serta mengubah makna pesan untuk menguntungkan diri mereka sendiri.
"Ketika sampai ke otak, itu diubah menjadi serotonin yang merupakan sinyal penting untuk merasa kenyang setelah makan," paparnya. "Pada akhirnya itu diubah menjadi melatonin, dan kemudian Anda merasa mengantuk."
Trevelline melanjutkan, tetapi triptofan hanyalah satu utas dari jaringan komunikasi kimia yang rumit. "Kemungkinan ada lusinan sinyal yang memengaruhi perilaku makanan sehari-hari. Triptofan yang dihasilkan oleh mikroba bisa menjadi salah satu aspeknya."
Meski demikian, ia melanjutkan, temuan ini adalah aspek yang masuk akal untuk menjelaskan bahwa organisme kecil di dalam perut dapat membuat keputusan apa yang ingin kita makan.
Para peneliti juga mengungkapkan, masih ada banyak hal yang harus dipelajari sebelum menyimpulkan hubungan bakteri dan keputusan memilih makanan. Selain belum punya cara untuk mengujinya pada manusia, mereka belum mengukur pentingnya mikroba dalam menentukan diet dibandingkan faktor lainnya.
"Bisa jadi apa yang Anda makan sehari sebelumnya lebih penting dari sekadar mikroba yang Anda punya," kata Kohl. "Manusia memiliki lebih banyak hal yang kita abaikan dalam eksperimen kami. Tapi itu gagasan yang menarik untuk dipikirkan."