Lebih Senang Hidup Sendirian? Mungkin Anda Termasuk Orang Cerdas

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 8 Mei 2022 | 12:00 WIB
Orang yang cerdas lebih suka hidup sendirian. Mereka memang memiliki teman, tetapi tidak sebanyak orang yang kurang cerdas. (Citra Anastasia)

Nationalgeographic.co.id - Tahun 2016, sebuah studi di British Journal of Psychology, mengungkapkan bagaimana leluhur kita berdampak pada perasaan kita saat ini. Para peneliti menguak, kebanyakan orang merasa puas dan bahagia bila memiliki banyak teman, kecuali Anda adalah orang cerdas di atas IQ rata-rata.

Orang yang lebih cerdas bukan berarti tidak mau bergaul, mereka hanya ingin berteman atau berkelompok dengan orang yang cerdas juga. Sebab, pertemanan yang berkualitas dapat memecahkan tantangan unik, dan mereka sendiri mampu memecahkan masalah sendiri tanpa memerlukan bantuan teman-temannya.

Dua peneliti itu adalah Norman Li dari dari School of Social Sciences, Singapore Management University, dan Satoshi Kanazawa di London School of Economics and Political Science, Inggris. Mereka mendasarkan temuan mereka bahwa kecerdasan evolusi kitalah yang menjadi rasa senang untuk menyendiri ini. Landasan yang mereka gunakan adalah teori sabana (savanna theory happiness).

"Analisis data ini mengungkapkan bahwa berada di sekitar kerumunan orang yang padat biasanya menyebabkan ketidakbahagiaan, sementara bersosialisasi dengan teman biasanya mengarah pada kebahagiaan—yaitu, kecuali orang tersebut sangat cerdas," tulis para peneliti.

Teori kebahagiaan sabana mengacu pada konsep bahwa otak kita melakukan sebagian besar evolusi biologisnya saat spesies kita hidup di sabana. Pikiran kita dirancang oleh dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan sebelum manusia itu sendiri menciptakan masyarakat berbasis pertanian dalam evolusi kognitif berikutnya.

Secara sederhana, psikologi evolusioner mengasumsikan bahwa tubuh dan otak kita telah berevolusi menjadi pemburu-pengumpul. Evolusi bergerak dengan lambat dan tidak mengikuti kemajuan teknologi dan peradaban.

Pada masa prasejarah, manusia tinggal di lingkungan penduduk yang jarang ditemui orang asing. Akan tetapi, dalam tatanannya, manusia hidup dalam kelompok yang terdiri setidaknya 150 orang berbeda dan berhubungan dengan erat.

Kebahagiaan rata-rata manusia berasal dari kondisi yang mencerminkan leluhur ini, dan itu masih terjadi dalam psikologi evolusi kita hari ini.

Ada dua faktor kunci yang digunakan Li dan Kanazawa dari teori kebahagiaan sabana: kepadatan penduduk, dan seberapa sering manusia bersosialisasi dengan temannya.

Menurut Li dan Kanazawa, banyak orang di era modern tinggal di tempat yang penduduknya lebih tinggi daripada nenek moyang kita. Otak kita telah berevolusi, menyesuaikan diri agar cocok dengan cara hidup sebagai pemburu-pengumpul dengan beramai-ramai.

Baca Juga: Bertemu Pria yang Tinggal Sendirian di Pulau Selama 32 Tahun

Baca Juga: Hypatia, Filsuf Perempuan yang Mati Tragis Karena Dibakar Hingga Mati

Baca Juga: Kita Tidak Akan Pernah Bertemu Alien Cerdas, Klaim Ahli Sains

Ketika manusia beralih ke lingkungan perkotaan yang padat penduduk, hal itu berpengaruh pada budaya kita. Manusia tidak lagi jarang berinteraksi dengan orang asing, dan terus menerus melakukannya. Para peneliti menyebut, perkotaan adalah lingkungan dengan stres tinggi.

Kebanyakan orang-orang justru lebih memilih cara bahagia alami mereka yakni berada di sekitar sedikit orang, dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan segelintirnya saja.

"Secara umum, individu yang lebih cerdas cenderung memiliki preferensi dan nilai yang 'tidak wajar' yang tidak dimiliki nenek moyang kita," kata Kanzawa dikutip dari Inverse. "Sangat wajar bagi spesies seperti manusia untuk mencari dan menginginkan persahabatan dan, sebagai akibatnya, individu yang lebih cerdas cenderung kurang mencari mereka."

Mereka juga menemukan bahwa orang yang sangat cerdas merasa tidak mendapat banyak manfaat dari persahabatan, terlebih yang banyak orang. Namun mereka lebih memilih untuk bersosialisasi lebih sering daripada orang yang kurang cerdas, para peneliti mengungkapkan.

Oleh karena itu, orang yang sangat cerdas menggunakan kesendirian sebagai cara untuk mengatur ulang diri mereka sendiri, setelah bersosialisasi di lingkungan perkotaan yang sangat stres.

Selain itu ada 98 persen orang memiliki IQ di bawah 130. Jika Anda menempatkan satu orang cerdas yang IQ-nya di atas 130 di sebuah ruangan dengan 49 orang, kemungkinan orang itu adalah yang tercerdas di sana.

Orang yang cerdas akan menemukan bahwa sangat sedikit orang yang bisa berbagi dengan apa yang dirinya diketahui. Jadi, hanya ada sedikit orang yang 'mengerti' dirinya. Wajar saja bila orang cerdas lebih suka menyendiri.

Mereka lebih memilih untuk berteman dalam kehidupan sosial 'yang sehat'. Hal itu dapat membantu orang yang cerdas mendapatkan kepuasan hidup, setelah sekian lamanya memilih untuk menyendiri.

Dengan kata lain, persahabatan yang baik, terutama bagi orang cerdas, mungkin bukan karena kuantitas tetapi kualitas.