Nationalgeographic.co.id—Orang-orang yang mengadopsi gaya hidup vegan sering diejek di mata publik. Walau demikian, tidak sedikit orang yang memuji mereka sebagai penyelamat iklim. Ilmuwan sudah lama mengungkapkan bahwa produksi daging olahan menimbulkan emisi dari hewan ternak, sehingga turut membantu efek rumah kaca.
Namun, kebutuhan akan daging masih sulit untuk dibendung. Tren gaya hidup vegan belum bisa sepenuhnya diterapkan, mengingat manusia adalah spesies omnivora—pemakan tumbuhan sekaligus daging.
Melansir Eurekalert, Florian Humpenöder, peneliti Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), Jerman, mengatakan, "sistem pangan adalah akar dari sepertiga emisi gas rumah kaca global, dengan produksi daging ruminansia (hewan pemamah biak) menjadi sumber tunggal besar."
Ia menyebut, selain emisi, peternakan membuat semakin banyak hutan yang menyimpan banyak karbon dibuka atau menanam pakannya.
Tetapi bukan berarti tidak ada solusi untuk menggantikan daging dengan non-daging. Solusi itu adalah pemanfaatan bioteknologi yang sebenarnya sudah kita kenal. Mikroba seperti jamur, lewat fermentasi, bisa menghasilkan biomassa kaya protein bergizi yang para ilmuwan sebut sebagai 'protein mikroba'. Selain itu, teksturnya juga bisa menyerupai daging.
"Penggantian daging ruminansia dengan protein mikroba di masa depan dapat sangat mengurangi jejak gas rumah kaca dari sistem pangan," lanjutnya. "Kabar baiknya adalah orang tidak perlu takut mereka hanya bisa makan sayuran di masa depan. Mereka bisa terus makan burger dan sejenisnya, hanya sajat roti burger itu akan diproduksi dengan cara yang berbeda."
Humpenöder, lewat penelitian bersama timnya di jurnal Nature, menyajikan ide pengolahan makanan pengganti daging lewat jamur. Misalnya, burger yang berkelanjutan seperti mengganti daging merah cincang dengan protein mikroba. Temuan mereka itu dipublikasikan pada Rabu, 4 Mei 2022.
"Kami menemukan bahwa jika kita mengganti 20 persen daging ruminansi per kapita pada tahun 2050, deforestasi tahunan dan emisi karbon dioksida dari perubahan penggunaan lahan akan berkurang setengahnya dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa," terangnya.
Hasil itu didapati Humpenöder dan rekan-rekannya dengan mencoba memasukkan protein mikroba dalam model simulasi komputer untuk mendeteksi efek lingkungan dalam konteks sistem pangan dan pertanian secara total.
Skenario itu berjalan hingga 2050 dengan memperhitungankan pertumbuhan populasi, permintaan pangan, pola diet, serta dinamika perubahan lahan dan pertanian di masa depan.
Mereka memandang, konsumsi daging kemungkinan akan terus meningkat di masa depan. Hal itu berdampak pada peralihan lahan hutan dan vegetasi alami non-hutan yang dapat punah demi menyediakan sumber makanan peternakan dan lahan pertanian.
"Pengurangan jumlah ternak tidak hanya mengurangi tekanan di darat tetapi juga mengurangi emisi metana dari rumen ternak dan emisi nitrit oksida dari pemupukan pakan atau pengelolaan pupuk kandang," papar Humpenöder.
Baca Juga: Kebanyakan Anak-Anak Vegetarian Mendapat Nutrisi Sebaik Pemakan Daging
Baca Juga: Walau Ada Berbagai Sayuran dalam Burger, Mengapa Tidak Sehat?
Baca Juga: Apakah Gaya Hidup Vegan adalah Solusi untuk Perubahan Iklim?
Baca Juga: Cacing Pita 18 Meter Ditemukan dalam Perut Pria Pemakan Daging Mentah
"Ada tiga kelompok besar pengubahan daging," ujar rekan penulis Isabelle Weindl yang juga peneliti PIK. "Ada yang berbasis tanaman seperti roti burger kedelai, dan sel hewan ditanam di cawan petri yang juga dikenal sebagai daging budidaya, yang sejauh ini sangat mahal tapi mendapat banyak perhatian publik baru-baru ini."
Ada pula protein mikrobia yang berasal dari fermentasi yang tidak kalah menarik, lanjut Weindl. Bahan ini sudah ada tersedia di supermarket di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Swiss. Pengolahannya sebagian besar dapat dipisahkan dari produksi pertanian.
"Hasil kami menunjukkan bahwa meskipun gula sebagai bahan baku, protein mikroba membutuhkan lebih sedikit lahan pertanian dibandingkan dengan daging ruminansia untuk pasokan protein yang sama," jelasnya.
Para peneliti yakin, pemanfaatan bioteknologi bisa menjadi tantangan untuk pelestarian ekosistem hingga peningkatan pangan. Protein hewani, termasuk pengganti produk susu, bisa dilakukan. Manfaatnya tak hanya lahan, tetapi juga menghemat air dalam produksi dan mencegah tekanan pada ekosistem yang kaya karbon dan kenekaragaman hayati.
"Perubahan skala besar menuju makanan bioteknologi membutuhkan dekarbonisasi pembangkit listrik skala besar sehingga potensi perlindungan iklim dapat dikembangkan sepenuhnya," ujar rekan penulis Alexander Popp yang menjadi pemimpin kelompok Land Use Management di PIK.
"Namun, jika kita melakukan ini dengan benar, protein mikroba dapat membantu pencinta daging menerima perubahan. Itu benar-benar bisa membuat perbedaan."