Sindiran Buat si Jangkung JP Coen dan 'Wak Wak Gung' untuk Jepang

By Utomo Priyambodo, Kamis, 12 Mei 2022 | 16:00 WIB
Rakyak Nusantara di zaman kolonial. (Neville Keasberry)

Nationalgeographic.co.id—Rakyat di Nusantara memang dikenal jago menyindir, bahkan sejak zaman kolonialisme. Kolonial Belanda hingga Jepang menjadi sasaran sindiran rakyat yang makin muak dengan kesewenang-wenangan para penjajah tersebut.

Bagaimanapun, sindiran atau ejekan adalah sebuah bentuk perlawanan lisan dari selemah-lemahnya iman rakyat kala itu. Dan salah satu sosok yang kerap jadi bahan ejekan adalah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, petinggi kompeni yang paling dibenci oleh rakyat Batavia.

"Selain tampil angkuh, banyak peraturan yang dikeluarkannya sangat merugikan, kejam, dan menindas orang-orang pribumi. Coen yang bertubuh tinggi, kerap diejek sebagai 'si jangkung yang kejam'," tulis Zaenuddin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.

Pada masa itu, muncul pantun-pantun yang kata-katanya mirip bahasa Belanda. Konon pantun ini dibuat oleh orang-orang Betawi untuk menyindir pemerintahan kolonial yang dipimpin JP Coen. Misalnya pantun yang berbuyi:

Pieter CoenPieter Coen/Ringen-ringenOnderdeel

Baca Juga: Riwayat Reog dalam Kancah Politik Majapahit hingga Indonesia

Baca Juga: Membuka Kedok Banksy, Ilmuwan Gunakan Matematika dan Kriminologi Mencari Identitas Seniman 

Maksud dari pantun tersebut kira-kira begini: Jan Pieterszoon Coen yang mengenakan cincin onderdil, mati menelan batu koral (biji beton). Sindiran ini mengandung kebencian kepada JP Coen yang diharapkan mati secara tidak wajar.

Bukan hanya di masa kolonial Belanda, sindiran rakyat juga muncul di masa penjajahan Jepang. Saat Jepang menguasai kota Batavia pada 1940-an, para serdadu Nipon yang umumnya bermata sipit juga kena sindiran. 

Karena kebijakan politik Jepang, kehidupan di Batavia jadi susah. Beras sulit dicari, akhirnya orang-orang makan jagung. Lalu muncullah sindiran lewat pantun berikut ini:

Wak, wak gung/Nasinya nasi jagung/Lalapnya lalap utan/Sarang gaok pu'un jagung/Gang, ging, gung/Pit ala ipit/Kuda lari kejepit/Sipit!

Sindiran yang disampaikan secara tidak langsung oleh rakyat di Batavia ini, bukan tak didengar oleh penguasa Belanda dan Jepang. Mereka mendengarnya, termasuk dari orang-orang pribumi yang berkhianat menjadi mata-mata penjajah.