Nationalgeographic.co.id—Kesulitan-kesulitan selama pandemi ini kadang mencetuskan pertanyaan-pertanyaan yang tak berkesudahan. Kapan terakhir kalinya kita berpikir tentang kabar Bumi sepanjang pandemi ini? Apakah selama pandemi ini kita seolah memaklumi kemasan-kemasan plastik sekali pakai? Pernahkan kita berpikir, kemana masker sekali pakai yang kita buang itu berujung?
Program Studi S-1 Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia Yogyakarta sedang menggelar Pameran Seni Rupa "Kabar Bumi Setengah Windu". Pameran berlangsung sejak 12 Mei hingga 14 Mei 2022.
Menurut pihak penyelenggara, Pameran "Kabar Bumi Setengah Windu" merupakan bentuk refleksi manusia atas perubahan Bumi yang belum banyak disadari oleh masyarakat luas. Pameran ini menampilkan keadaan Bumi pada pra-pandemi hingga era pandemi serta harapan untuk Bumi pasca-pandemi.
Pameran ini memiliki slogan "From Art to Earth Through a Heart". Artinya, "Dari Seni untuk Bumi Melalui Hati".
Setelah melewati proses kurasi selama kurang lebih tiga bulan, tim pameran berhasil mengumpulkan beberapa seniman sekaligus aktivis lingkungan untuk berpartisipasi. Ada Alif Edi Irmawan selaku penggiat seni yang banyak membahas isu-isu lingkungan dalam setiap karyanya. Lalu ada Muhammad Shodiq, seorang penggiat lingkungan dan seniman yang menciptakan karya-karya seninya dari hasil tembakau yang berasal dari Probolinggo.
Alif Edi Irmawan memberikan pengingat melalui lukisannya yang bertitel Proyek Bibit Unggul yang membahas masalah krisis lingkungan di tengah pembangunan yang semakin berkembang pesat. Melalui karya seninya, Alif mengingatkan kita bahwa kita perlu menyiapkan bekal untuk hari esok demi terjaganya keseimbangan alam. Lukisan karya Alif ini dipajang pada bagian era pra-pandemi.
Pada bagian era pandemi ada karya seniman Rifkki Arrofik yang berjudul Cross Pseudo Zone and Reality in the Window. Karya ini memberikan makna pembatasan sosial (social distancing) justru memberikan dampak baik karena secara tidak langsung menjaga satu sama lain. Intinya, terkurung sekaligus terlindung.
Melalui karyanya, seniman Kurt A. Hoesli juga menceritakan pengalaman dirinya saat berkunjung ke Indonesia dan dihadapkan pada situasi lockdown di berbagai penjuru dunia. Ia dihadapkan dengan pilihan keputusan bertahan di Indonesia atau kembali ke negara asalnya di Swiss. Dengan karyanya berjudul Kunci Menerangi Jalan, ia menceritakan pilihannya tersebut dengan sebuah ikon kunci berbentuk keris yang memiliki kekuatan magis di dalamnya. Bahwa di setiap perjalanan hidup, keputusan yang diambil akan selalu membawa makna di dalamnya.
Pada bagian harapan pasca-pandemi, seniman Diah Yulianti mengekspresikan perasaannya pada kondisi pandemi saat ini yang banyak merenggut nyawa manusia. Melalui karyanya berjudul Yang Pulang, Tumbuh, ia bercerita bahwa dengan kembalinya para roh kepada Sang Kuasa, ada bibit-bibit baru yang menjadi generasi penerusnya.
Lukisan ini dilambangkan dengan bunga matahari yang memiliki ribuan serbuk di dalamnya dan selalu mengikuti arah matahari untuk mendapatkan sinar bagi serbuk mahkotanya. Ini mengartikan generasi baru merupakan akar yang kuat dalam kemajuan era peradaban baru.
Pameran ini juga menampilkan karya seniman Muhammad Fauzan yang berjudul She’s Not Pink, karya Denny Saiful Anwar dengan tajuk Me and My Thought, karya Muhammad Shodiq dengan judul Peralihan dan karya Ilham Karim yang bertajuk A Bigger Splash. Semua karya itu turut serta mengulik keadaan Bumi dalam empat tahun terakhir ini.
Mikke Susanto, Ketua Program Studi S-1 Tata Kelola Seni FSR ISI Yogyakarta sekaligus Penanggup Jawab Pameran "Kabar Bumi Setengah Windu", mengatakan sosialisasi perihal pelestarian bumi dan seisinya tidak bisa hanya dilakukan oleh sebagian orang. Semua manusia wajib menjaga dan melestarikan Bumi kita yang satu ini dengan berbagai cara sesuai kemampuan dan bidangnya.
Baca Juga: Pameran Jayapatra, Lembar Kemenangan dari Yogyakarta untuk Indonesia
Baca Juga: Merespon Krisis Iklim Dunia Melalui Pameran Fotografi di Kota Salatiga
Baca Juga: Sempat Dihina, Ini Kisah di Balik Mahakarya Van Gogh The Potato Eaters
Baca Juga: Gabrielle Berlatier, Perempuan yang Menerima Kuping Pelukis Van Gogh
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
"Mahasiswa dan para seniman juga tidak boleh hanya berperan sebagai penikmat alam, namun juga harus mampu menyediakan sarana sosialisasi bagi keberlanjutan bumi dan seisinya. Pameran 'Kabar Bumi Setengah Windu' mendapatkan momentum yang tepat, untuk mengingat dan memberi asupan spirit bagi semuanya untuk tetap menjaga bumi dan seisinya," ujar Mikke.
Pameran seni yang sedang berlangsung ini bertempat di Bentara Budaya Yogyakarta yang berlokasi di Jalan Suroto No.2 Kotabaru, Yogyakarta. Bentara Budaya Yogyakarta adalah sebuah lembaga kebudayaan Kompas Gramedia.
Nama Bentara Budaya memiliki arti utusan budaya. Tujuan didirikannya Bentara Budaya Yogyakarta adalah untuk menampung dan mewakili wahana budaya bangsa dari berbagai kalangan, latar belakang, dan cakrawala yang berbeda.
Lembaga ini secara reguler mengadakan berbagai macam acara kesenian, seperti pameran dan pagelaran, pemutaran film, dan diskusi bulanan. Selain mengangkat budaya Indonesia, Bentara Budaya juga kerap mengadakan kerja sama dengan lembaga seni lainnya dari lintas negara.
Bentara Budaya Yogyakarta diresmikan pertama kali oleh bapak Jakob Oetama pendiri Kompas Gramedia pada tanggal 26 September 1982 di Yogyakarta. Tahun ini akan menjadi peringatan 40 tahun Bentara Budaya Yogyakarta.