Nationalgeographic.co.id—Beberapa bulan setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang gemilang, Sukarno pun mengenang kota ini. "Djogjakarta mendjadi termasjhur oleh karena djiwa-kemerdekaannja," ungkapnya. "Hidupkanlah terus djiwa-kemerdekaannja itu!"
Sejatinya, apa saja yang telah disumbangkan Yogyakarta sejak berdirinya? Barangkali kita bisa mendapat rujukan jawabannya dari sebuah pameran temporer yang digelar di halaman depan Keraton Yogyakarta. Selama 8 Maret sampai 12 Juni 2022, Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta menjadi ruang pameran nan langka. Tajuknya, Jayapatra : Dedikasi Yogyakarta Bagi Bangsa. Semua warga dunia bisa menyaksikan koleksi keraton ini secara luring atau mengikuti tur virtual secara daring—dengan tiket berbayar.
Perhelatan ini merupakan bagian peringatan 33 tahun bertakhtanya Sri Sultan Hamengku Buwana X. Acaranya biasa disebut Jumenengan. Pameran mencoba menarasikan gagasan Sultan tentang perjuangan dan sumbangsih Keraton Yogyakarta untuk Indonesia.
"Jayapatra itu berasal dari dua bahasa," kata Fajar Wijanarko, sejarawan dan kurator pameran, kepada National Geographic Indonesia. Dia mengatakan bahwa kata "jaya" sejatinya merupakan basantara, atau lingua franca, yang banyak digunakan di Asia Tenggara. Bermakna kemegahan, kemenangan, kejayaan. Sementara, kata "patra" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti perjanjian, lembar, atau kesepakatan. "Sehingga," sambungnya, "jayapatra ini lembar kemenangan."
Jayapatra merupakan narasi besar dalam pameran ini, yang dibagi menjadi titik-titik penting yang menautkan catatan Yogyakarta hingga lingkup nasional. Fajar mengungkapkan pameran ini memiliki tiga bagian ruang narasi: pendidikan, sosial politik, dan pemerintahan.
Ruang pertama adalah "bagian pendidikan," ungkapnya. "Kita mencoba menyoroti bagaimana awal pendidikan keraton [yang bermula] dari sekolah tamanan sampai kelahiran Universitas Gadjah Mada. Di dalamnya muncul banyak sekali dinamika selama pemerintahan Sultan Hamengkubuwana Pertama sampai Kesembilan."
Dalam pemerintahan Sultan Ketujuh (1877-1921), imbuhnya, "ditemukan satu data dan fakta sejarah terkait kehadiran sekolah-sekolah partikelir, atau sekolah yang dibangun di atas tanah-tanah keraton atau swasta."
Pada 1907, di Yogyakarta terdapat sekolah partikelir sejumlah 75 sekolah. Artinya, Sultan sangat memperhatikan perkara pendidikan sebagai catatan penting. Sekolah-sekolah itu berada di Kota Yogyakarta sebanyak 51 sekolah, Gunungkidul 12 sekolah, dan Kulonprogo 12 sekolah. Boleh dikata, warga Yogyakarta begitu berminat dan membutuhkan edukasi pada dekade pertama abad ke-20.
Sultan mendukung pembangunan sekolah-sekolah partikelir melalui pembiayaan operasional, Fajar menambahkan. Sementara pemerintah Hindia Belanda mendukung melalui material bangunan.
Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR