Nationalgeographic.co.id—Pada 1830, Johannes van den Bosch resmi menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Berikutnya, ia mengeluarkan kebijakan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di seluruh wilayah kolonial.
"Sejak saat itu, ekonomi barat dengan sistem uangnya mulai menyebar dari perkotaan dan merasuk ke wilayah pedesaan, bahkan hingga satuan wilayah yang terkecil," tulis Tendi dalam jurnalnya.
Tendi menulis dalam jurnal Dialektika dengan judul Perkembangan Sosio-ekonomi dan Perkebunan Masyarakat Kuningan, 1830-1870 yang terbit pada 2017.
Sistem Tanam Paksa merupakan suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial, mewajibkan setiap desa yang ada untuk menyisihkan 20% tanahnya guna ditanami oleh komoditi ekspor: kopi, tebu, dan nila.
"Selanjutnya, hasil bumi yang ada di desa tersebut akan dibeli kembali oleh pemerintah namun dengan harga yang sudah ditentukan secara sepihak," imbuhnya.
Demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, pemerintah kolonial terkadang dengan kejam menggusur lahan pertanian masyarakat agar mereka dapat mempergunakannya.
Secara resmi, tanah yang harus disediakan hanya seperlima dari keseluruhan luas desa. Namun praktiknya, ketentuan ini sering dilanggar sehingga melampaui ketentuan yang ada.
Pada permulaan Sistem Tanam Paksa, dataran tinggi di Jawa Barat dijadikan sebagai sebagai pusat penanaman tarum atau nila. Meski dibarengi dengan penanaman komoditas lain, seperti kopi, tebu, dan teh, van den Bosch tetap menganggap bahwa tanaman nila lah yang akan menjadi komoditas unggulan tanam paksa.
Berdasarkan penelitian Inspektur Tanaman, G.E. Tesseire, disimpulkan bahwa Priangan dapat menghasilkan panen yang memenuhi sebagian besar jumlah penghasilan nila yang dibutuhkan.
Menurut Jan Breman dalam penelitian Tendi, "Cirebon dianggap sebagai tempat yang cocok oleh pemerintah kolonial untuk perkebunan nila dan produksinya dapat dilipatgandakan meski dalam waktu yang sangat singkat."
Penguasa karesidenan Cirebon ingin perkebunan nila di daerah mereka berjalan dengan sukses dan lancar, oleh karenanya memilih Kuningan dan Majalengka sebagai dataran tinggi Cirebon untuk penanaman komoditas jenis ini.
Daerah yang berada di bawah kaki Gunung Ciremai memang dikenal sebagai lahan yang subur. Di Kuningan, daerah-daerah yang dimaksud adalah Darma, Kadugede, Cigugur, Jalaksana, dan Mandirancan—termasuk ke dalam Karesidenan Cirebon.
Agaknya, ekspektasi pemerintah kolonial terhadap nila ternyata terlalu tinggi karena komoditas ini justru lebih banyak menghasilkan kerugian ketimbang keuntungan.
Baca Juga: Cerita Kuli Perkebunan di Balik Kubah Lonceng Megah AVROS Medan
Baca Juga: Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda
Baca Juga: Hiburan Rakyat Sebagai Siasat Tuan Tanah Mengail Hati Rakyat Subang
Baca Juga: Sisi Gelap Tarian Ronggeng di Perkebunan Subang Awal Abad Ke-20
Baca Juga: Perkecuan di Klaten Akibat Krisis Petani Perkebunan Belanda Sejak 1875
Berdasarkan temuan L. Vitalis, Inspektur Tanaman yang menginspeksi dataran tinggi Pasundan sejak April tahun 1830, diketahui bahwa penanaman tarum telah menimbulkan bencana kemanusiaan yang sangat luar biasa.
"Saat berkeliling melaksanakan tugasnya itu, seringkali ia bertemu dengan penduduk yang terluka karena serangan binatang buas saat menanam nila di tempat yang jauh dari pemukiman," terus Tendi.
Kawasan yang sangat jarang dilalui manusia, masih menjadi habitat asli hewan buas yang kerap kali melukai hingga membunuh petani lokal yang dipaksa untuk menanam nila.
Selain lanskap yang ekstrem di kaki gunung Ciremai yang merugikan para petani dan mengancam keselamatannya, tanam paksa juga memberatkan dan memberi penderitaan rakyat di Karesidenan Cirebon.
Banyak dari warga yang mengalami kelaparan hebat dan gizi buruk. Satu per satu dari mereka jatuh sakit hingga meninggal dunia. Penderitaan dan tekanan yang sangat berat dihadapi mereka.
Tak ayal, "ketidakpuasan dan nestapa yang ada pada masa itu, membuat rakyat semakin resah sehingga mencoba memberikan perlawanan sebagai jalan akhir dari perjuangan hidupnya," pungkasnya.