Penderitaan dan Terkaman Hewan Buas Mewarnai Tanam Paksa di Cirebon

By Galih Pranata, Jumat, 13 Mei 2022 | 11:00 WIB
Potret petani lokal dalam penerapan kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Hindia-Belanda sejak 1830. (Het-Cultuurstelsel/Kolonialisme Jouwweb Nederlands)

Penguasa karesidenan Cirebon ingin perkebunan nila di daerah mereka berjalan dengan sukses dan lancar, oleh karenanya memilih Kuningan dan Majalengka sebagai dataran tinggi Cirebon untuk penanaman komoditas jenis ini.

Daerah yang berada di bawah kaki Gunung Ciremai memang dikenal sebagai lahan yang subur. Di Kuningan, daerah-daerah yang dimaksud adalah Darma, Kadugede, Cigugur, Jalaksana, dan Mandirancan—termasuk ke dalam Karesidenan Cirebon.

Agaknya, ekspektasi pemerintah kolonial terhadap nila ternyata terlalu tinggi karena komoditas ini justru lebih banyak menghasilkan kerugian ketimbang keuntungan.

   

Baca Juga: Cerita Kuli Perkebunan di Balik Kubah Lonceng Megah AVROS Medan

Baca Juga: Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda

Baca Juga: Hiburan Rakyat Sebagai Siasat Tuan Tanah Mengail Hati Rakyat Subang

Baca Juga: Sisi Gelap Tarian Ronggeng di Perkebunan Subang Awal Abad Ke-20

Baca Juga: Perkecuan di Klaten Akibat Krisis Petani Perkebunan Belanda Sejak 1875

    

Berdasarkan temuan L. Vitalis, Inspektur Tanaman yang menginspeksi dataran tinggi Pasundan sejak April tahun 1830, diketahui bahwa penanaman tarum telah menimbulkan bencana kemanusiaan yang sangat luar biasa.

"Saat berkeliling melaksanakan tugasnya itu, seringkali ia bertemu dengan penduduk yang terluka karena serangan binatang buas saat menanam nila di tempat yang jauh dari pemukiman," terus Tendi.

Kawasan yang sangat jarang dilalui manusia, masih menjadi habitat asli hewan buas yang kerap kali melukai hingga membunuh petani lokal yang dipaksa untuk menanam nila.

Selain lanskap yang ekstrem di kaki gunung Ciremai yang merugikan para petani dan mengancam keselamatannya, tanam paksa juga memberatkan dan memberi penderitaan rakyat di Karesidenan Cirebon.

Banyak dari warga yang mengalami kelaparan hebat dan gizi buruk. Satu per satu dari mereka jatuh sakit hingga meninggal dunia. Penderitaan dan tekanan yang sangat berat dihadapi mereka.

Tak ayal, "ketidakpuasan dan nestapa yang ada pada masa itu, membuat rakyat semakin resah sehingga mencoba memberikan perlawanan sebagai jalan akhir dari perjuangan hidupnya," pungkasnya.