Nationalgeographic.co.id—Koran-koran berbahasa Belanda disibukkan dalam menyebut satu nama, konglomerat besar yang kala itu tak ada tandingannya, merupakan keturunan Tiongkok, ialah Oei Tiong Ham.
"Koran-koran berbahasa Belanda bahkan menyebutnya sebagai orang yang paling kaya di kawasan antara Shanghai dan Australia," tulis Indrawan Sasongko dalam buku 1000 Tahun Nusantara yang diterbitkan pada tahun 2000.
Jangankan hanya memiliki sepetak rumah dan mobil mewah, sekalipun negara kecil di Singapura, Indrawan menyebut "seperempat dari seluruh tanah dan bangunan di pulau itu milik konglomerat ini."
Nama konglomerasinya, yaitu Oei Tiong Ham Concern, merupakan nama besar dalam dunia bisnis yang sohor sejak tahun 1900-an sampai tahun 1960.
Oei Tiong Ham yang lahir tahun 1866 di Semarang, mewarisi kerajaan bisnis ayahnya yang bernama Oei Tjie Sien. Ayahnya meninggal tahun 1900 dan mewarisi seluruh bisnis dan kekayaannya.
Ayahnya mendarat dan bermukim di Semarang tahun 1858, setelah terjadi pemberontakan Taiping di daratan Cina. Saat itupun, Oei Tjie Sie sudah tercatat sebagai miliarder sejak hijrah dari Cina.
"Usaha dagangnya Firma Kian Gwan bergerak di bidang perdagangan hasil bumi, termasuk mengekspor ke Thailand dan Vietnam," imbuh Indrawan.
Dalam bab yang dibahas oleh Indrawan Sasongko, ia menguak fakta bahwa di tahun 1883, tercatat kekayaan perusahaannya sudah mencapai angka 3 juta gulden.
Suatu jumlah yang bukan main-main jika dilihat dari besaran nilainya. Bisa dibayangkan jika pada tahun 1930-an saja, uang satu ron atau setengah sen (1/200 gulden) bisa dipakai untuk membeli nasi sepincuk (piring dari daun pisang).
Oei Tiong Ham memperluas bisnis ayahnya melalui lima pabrik gula dengan perkebunan-perkebunan tebunya di Jawa, perkebunan karet dan lada, sehingga dia dijuluki Raja Gula, Raja Karet, dan Raja Lada.
"Produksi pabrik gulanya pada tahun 1912 mencapai 200.000 ton yang merupakan seperenam produksi gula di seluruh pulau Jawa," terusnya.
Baca Juga: Pusaka Pasuruan: Dunia Mengakui Tebu Ajaib Berasal dari Tanah Jawa
Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa
Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya
Hasil produksinya di ekspor dan perdagangan hasil buminya makin diperluas. Oei Tiong Ham mulai membuka kantor di Inggris, daratan Eropa, Amerika, Jepang, dan Australia. Bisnisnya meliputi empat benua (kecuali Afrika), termasuk pabrik alkohol di Shanghai.
Kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang, kerajaan bisnisnya setingkat dengan perusahaan-perusahaan multinasional, yang dikendalikan dari Singapura. Lapangan kerja yang diciptakan mencapai ratusan ribu.
Ketika meninggal di tahun 1924, Oei Tiong Ham berada di puncak kejayaannya. Perang Dunia I membawa keuntungan besar karena melonjaknya harga hasil bumi, terutama gula.
Indrawan mengungkapkan bahwa pascamangkatnya Oei, "bisnisnya lalu dilanjutkan oleh beberapa dari 26 anaknya."
Namun, memasuki tahun 1930-an, terjadi krisis Malaise dan Perang Dunia II lewat pendudukan Jepang di Hindia-Belanda telah merampas pabrik-pabriknya.
masa revolusi fisik di antara tahun 1945-1950, membuat bisnis Oei Tiong Ham Concern di Indonesia menjadi surut.
Masa-masa sulit terjadi manakala pada pemerintahan Kabinet Parlementer dan Demokrasi Terpimpin (1950-1960), adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, membuat mega bisnis Oei digabungkan dengan penerapan sosialisme ala Indonesia.
"Oei Tiong Ham Concern yang berusaha bangkit tidak dapat menyesuaikan diri, sernentara para ahli waris Oei Tiong Ham terlibat dalam sengketa internal tentang siapa yang memiliki dan menjalankan usaha," pungkasnya.
Akibat sengketa berkepanjangan, pada tanggal 10 Juli 1961, pengadilan rnemutuskan untuk menyita seluruh kekayaan Oei Tiong Ham Concern sekaligus menandai berakhirnya konglomerasi Oei Tiong Ham di Indonesia.