Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita

By Mahandis Yoanata Thamrin,Utomo Priyambodo, Jumat, 13 Mei 2022 | 15:00 WIB
Pertempuran laut yang ganas di lepas pantai Banten pada 25-30 Desember 1601 antara lima kapal belanda dan 30 kapal portugis yang dibantu galai dari angkatan laut Sultan. Belanda unggul, Banten dikuasai. Karya Isaac Commelin (1598-1676). (Royal Collection Trust)

Perahu dalam tradisi Asia Tenggara tidak memerlukan paku besi. Ada bagian papan yang menonjol dengan empat lubang yang dinamakan tambuko. Lewat lubang-lubang itu tali ijuk dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Teknik penyambungan ini dikenal dengan “teknik papan ikat dan kupingan pengikat”.

Di sisi lain, kapal Tiongkok memiliki tradisi lambung yang dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan memiliki kemudi tunggal di palang rusuk buritan. Pembangunannya menggunakan paku besi.

Jalur Rempah merupakan rute pelayaran nan berbahaya menuju kepulauan rempah. Ada kapal yang kembali ke pelabuhan asalnya, tetapi ada pula yang hilang tak diketahui rimbanya.

Pada abad ke-9, ketika pendeta-pendeta India merampungkan pembangunan Candi Borobudur di pedalaman Jawa, salah satu kapal pedagang Arab mengalami kemalangan. Ia karam di dasar Selat Gaspar, antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

Setelah bersemayam lebih dari seribu tahun, kapal ini mulai tersingkap pada 1998. Inilah kapal Arab pertama yang ditemukan di Asia Tenggara. Situsnya dikenal sebagai “Belitung Wreck”.

Litografi berjudul 'Kapal Cina dan Jawa dengan Layar Rotan dan Jangkar Kayu', penampakan paling awal tentang kapal jong atau jung. Litografi karya Jan Huyghen van Linschoten dalam 'Itinerario, Voyage Ofte Schipvaert Naer Oost Ofte Portugaels Indien', 1596. (Public Domain)

Ketika para penyelam menyingkap repihannya, mereka menemukan lebih dari 60.000 keping emas, perak, dan mangkuk keramik Dinasti Tang. Dari ribuan mangkuk, salah satunya memiliki angka tahun, yang semasa dengan 826 Masehi.

Simon Worrall melaporkan temuan kapal itu untuk National Geographic, Juni 2009. Boleh jadi, kapal ini berangkat dari Guangzhou menuju asalnya di Teluk Persia. Komoditas yang dibawa tampaknya dibuat sesuai pesanan. Ragam hiasnya kosmopolit: corak lotus Buddha asal Asia Tengah; ragam geometris Al-Qur’an untuk pasar Muslim; dan satu mangkuk bercorak lima garis vertikal, yang ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai simbol Allah.

Masih di dasar Selat Gaspar, terdapat situs Kapal Tek Sing. Kapal kargo asal pelabuhan Amoy ini hendak berlayar menuju Batavia, namun menabrak karang sehingga karam pada 1822. Ia mengangkut 1.500 imigran Tiongkok—hanya 180 orang selamat.

Sebaran situs kapal karam abad ke-9 sampai ke-19, yang teridentifikasi di Asia Tenggara. UNESCO melaporkan terdapat 5.000 kapal kuno yang karam di area ini. (National Geographic Indonesia)

Pada 1999, keberadaan kapal ini tercium oleh pemburu harta karun asal Inggris. UNESCO melaporkan bahwa lebih dari 350.000 buah keramik telah diangkut lalu dilelang oleh Nagel Auction di Stuttgart, Jerman pada 2000. Karamnya Tek Sing menjadi salah satu bencana terbesar dalam sejarah pelayaran dunia, sekaligus muatan terbesar dalam sejarah temuan kapal Tiongkok. Kini, amblasnya jejak repihan itu mencerminkan masa depan Indonesia yang terjarah.

Shinatria Adhityatama dan Priyatno Hadi Sulistyarto dari Puslit Arkenas meneliti kapal karam di perairan Pulau Natuna dan Pulau Bintan. Penelitian mereka terbit di Jurnal Segara edisi Desember 2018. Menurut mereka, kawasan perairan Kepulauan Riau merupakan lokasi strategis karena menautkan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka “tidak kalah ramainya dengan perairan Mediteranian.”