Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita

By Mahandis Yoanata Thamrin,Utomo Priyambodo, Jumat, 13 Mei 2022 | 15:00 WIB
Pertempuran laut yang ganas di lepas pantai Banten pada 25-30 Desember 1601 antara lima kapal belanda dan 30 kapal portugis yang dibantu galai dari angkatan laut Sultan. Belanda unggul, Banten dikuasai. Karya Isaac Commelin (1598-1676). (Royal Collection Trust)

Penelitian mereka di Situs Tanjung Renggung, perairan Bintan, menemukan kapal Nusantara atau Asia Tenggara yang membawa komoditas keramik asal Tiongkok—tempayan, mangkuk, piring, buli-buli, guci berglasir yang berwarna hijau seladon khas Dinasti Song Selatan (1127-1279)—mirip kasus Situs Cirebon. “Ini membuktikan bahwa kapal-kapal lokal kita berperan dalam distribusi,” ujar Shinatria, “tidak selalu kapal-kapal asing yang masuk.”

  

Baca Juga: Merapah Rempah: Sejumput Cengkih Maluku di Rumah Tuan Puzurum

Baca Juga: Merapah Rempah: Ketika Pesona Rempah Menyimpan Bencana Pagebluk Kuno

Baca Juga: Merapah Rempah: Benarkah Lapu-Lapu Membunuh Magellan? Simak Kisahnya

Baca Juga: Merapah Rempah: Mengungkap Narasi Asal-Usul Kesejatian Indonesia

Baca Juga: Temuan Ahli Antropologi di Balik Mantra Misterius dari Barus

   

Perairan Asia Tenggara memiliki sebaran situs kapal kuno yang karam. Sayangnya, “justru situssitus kapal di sekitar kepulauan rempah belum banyak dieksplorasi,” imbuhnya, “padahal itu sentralnya.” Dia menambahkan bahwa untuk mempelajari Jalur Rempah dalam perspektif maritim, kita “perlu mempelajari situs-situ kapal karam karena itu adalah bukti langsung dari aktivitas perniagaaan maritim.”

Pada 2016, pemerintah menegaskan bahwa pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) tertutup untuk bidang investasi. Namun, pada 2021, pemerintah membuka kesempatan bagi para investor untuk mencari BMKT.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, membenarkan adanya kecenderungan untuk mereduksi benda cagar budaya bawah air sebagai komoditas.

“Sebetulnya, secara legal, secara hukum, nggak ada yang salah dengan menjual-belikannya,” ujar Hilmar. “Tapi, kalau kemudian semata-mata ini disamakan dengan "barang komoditi lain pada umumnya, tentu itu sangat disayangkan. Dan, jelas itu bukan tujuan utamanya.”

Bambang Budi Utomo mengatakan, “Benda cagar budaya bawah air merupakan dilema.” Pemerintah membutuhkan dana besar untuk menjaga cagar budaya bawah air ini. Namun, dia mewanti-wanti bila kita kembali membolehkan investor untuk mengangkatnya. Pengalaman membuktikan bahwa kita seringkali “dicurangi” dan “dirugikan.” Temuan BMKT harus dianggap sebagai cagar budaya dan diteliti. “Jadi bagaimanapun barang-barang itu mengandung nilai sejarah dan budaya Indonesia.”

    

—Kisah ini pernah terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2021.