Kesadaran Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk Melestarikan Hutan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 16 Mei 2022 | 13:07 WIB
Hutan yang dibakar oleh perusahaan di zaman pemerintahan Hindia-Belanda untuk ditanami kembali. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Jika kita menengok kebanyakan karya seni masa Hindia Belanda, seolah-olah negeri itu begitu asri dengan pemandangan yang elok. Itu adalah konsep Mooi Indie (Hindia molek) yang dipengaruhi oleh gaya lukis Eropa. Pengaruh Mooi indie pun mempengaruhi dunia fotografi yang muncul belakangan.

"Saya kira Mooi Indie selalu mengecoh kita bahwa lukisan menarik adalah yang indah," kata Mikke Susanto, peneliti seni dari Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, dalam Bincang Redaksi-47 pada 11 Mei 2022 lalu.

Banyak pihak yang kemudian bermunculan seperti Abdul Moeis, mengkritik gaya seni ini. Gaya seni ini meromantisasi alam Hindia Belanda yang setimpang, dan mengabsenkan potret industrialisasi yang sebenarnya mengeksploitasi alam. Seni dan fotografi seolah-olah menjadikan Hindia Belanda sebagai lahan kosong yang bisa dimanfaatkan demi keuntungan Kerajaan Belanda di Eropa.

Sejak kedatangannya demi mencari rempah dan bahan perkebunan lainnya, banyak hutan yang dibabat. Terutama, ketika Gubernur Jenderal  Johannes van den Bosch mengeluarkan kebijakan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di seluruh tanah jajahan sekitar 1830-an.

Peraturan itu mewajibkan setiap desa menyisihkan dua persen tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor seperti kopi, tebu, tembakau, dan nila. Tanam paksa pun berlanjut dalam pemerintahan Jean Chrétien Baron Baud.

Kebijakan ini menjadi sorotan kritik oleh Eduard Douwes Dekker, pegawai negeri dari Belanda ketika tiba di Hindia. Kritiknya itu ditulisnya lantang lewat kisah Max Havelaar yang sebenarnya berasal dari pengalamannya berkunjung ke negeri terjajah.

Mirisnya lagi, eksploitasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda juga merembet pada fauna. Berbagai hewan diburu sebagai koleksi atau bisnis ekspor Belanda di Eropa. Cenderawasih misalnya, diburu karena bulunya yang eksotis untuk pasar mode busana di Prancis dan Inggris.

Soal cenderawasih ini dimuat dalam tulisan residen Ternate F.S.A. de Clerq pada 1890. "Sampai saat ini burung-burung hampir tidak pernah dijumpai di sepanjang pantai, dan pembunuhan telah bergerak hingga ke pedalaman. Maka tidak lama lagi, tidak ada sisa-sisa produk ciptaan Tuhan Sang Maha Pencipta yang dapat menyenangkan para pengamat burung dari sebuah keajaiban dunia."

  

Baca Juga: Histori Mudik yang Memperparah Pagebluk di Zaman Hindia-Belanda

Baca Juga: Perlindungan Ciremai Jadi Polemik Warga dengan Pemerintah Kolonial

Baca Juga: Sisi Gelap Tarian Ronggeng di Perkebunan Subang Awal Abad Ke-20