Kesadaran Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk Melestarikan Hutan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 16 Mei 2022 | 13:07 WIB
Hutan yang dibakar oleh perusahaan di zaman pemerintahan Hindia-Belanda untuk ditanami kembali. (KITLV)

Belum lagi, orang-orang Eropa semasa Hindia Belanda kerap berburu sebagai hobi. Akibatnya, beberapa spesies pun punah dan sebagiannya belum pernah kita lihat pada saat ini.

Imroatun Nur Afifah dari Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya menulis, sebenarnya sudah ada perhatian untuk pengelolaan dan rehabilitasi hutan sejak masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di awal abad ke-19. Dia menulis di jurnal Avatara pada tahun 2020.

Namun, pengelolaannya sangat lambat karena kondisi politik saat itu. Tiga dekade setelah Sistem Tanam Paksa diberlakukan, inisiasi perlindungan hutan baru muncul pada 1865 lewat Reglemen Hutan.

Tetap saja, regulasi itu masih membuat hutan yang sebagian besar tidak dikelola, jadi musnah. Ditambah, masih adanya pembabatan hutan untuk pembangunan perumahan dan lain-lainnya, dalam laporan masyarakat yang masuk ke pemerintah.

Peraturan hutan diganti dengan Reglemen Hutan 1874 yang hasilnya juga kurang optimal. Pergantian undang-undang kehutanan terjadi pada 26 Mei 1882, 21 November 1894, dan Ordonansi Kolonial tahun 1897, yang terakhir pada Reglemen tahun 1913.

Masalahnya, pada undang-undang tahun 1913 itu konversi hutan masih berlaku, bahkan diperbolehkan untuk pihak swasta. Undang-undang itu juga mengizinkan masyarakat lokal untuk mengambilkan limbah kayu secara bebas di kawasan hutan setelah penebangan selesai dilakukan.

"Kegiatan-kegiatan tersebut kemudian dianggap oleh para rimbawan Belanda dapat mengancam kelestarian hutan," tulis Imroatun. Beberapa rimbawan menerbitkan publikasi yang menunjukkan fungsi perlindungan iklim, hidrologis, dan manfaat lainnya jika hutan benar-benar bisa dilestarikan.

Salah satu perkumpulan rimbawan itu adalah Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming yang didirikan oleh Sijfert Hendrik Koorders, peneliti botani dari Kebun Raya Bogor.

Sijfert Hendrik Koorders, rimbawan dan peneliti botani di Kebun Raya Bogor. Dia mendirikan asosiasi perlindungan hutan Hindia Belanda yang menyadarkan pemerintah untuk pelestarian. (Tectona XIII, 1920)

Asosiasi yang berdiri sejak 1912 itu berpengaruh keputusan Hindia Belanda untuk mendirikan cagar alam, dan menunjuk beberapa lokasi. Berangsur-angsur, kawasan yang ditunjuk itu diubah statusnya sebagai hutan lindung, walau Koorders pada akhirnya wafat tahun 1919.

Di sisi lain, beberapa hutan cadangan yang diperluas pemerintah, meluas sampai mengambil alih tanah-tanah ulayat (beschikkingrecht) yang tidak dapat dibuktikan status kepemilikannya. Padahal, semestinya tanah-tanah ulayat ini dimanfaatkan, diolah, dan dilestarikan secara pemahaman masyarakat lokal.

"Kebijakan kehutanan di Indonesia menjelang tahun 1927 turut dipengaruhi oleh berkembangnya ilmu pengetahuan murni. Setelah Perang Dunia I, Pemerintah Kolonial Belanda mencoba memperbarui ideologi kolonialnya di tanah jajahan," lanjut Imroatun.

Kebijakan politis ini membuat Belanda terlihat beradab untuk perlindungan hutan dan pengembangan pengetahuan, Imroatun berpendapat. Lagi-lagi, cara halus itu tampaknya seperti menutupi cara mereka merampas hak-hak masyarakat terhadap hutannya, termasuk pembatasan akses.