Industri Kretek: Prestasi Pribumi dan Keuntungan Pemerintah Kolonial

By Galih Pranata, Rabu, 18 Mei 2022 | 11:00 WIB
Potret 1954, para perempuan menyortir daun tembakau di perkebunan tembakau Tandjong Morawa di Serdang, Sumatera Timur. (Wikimedia Commons)

Kerusuhan itu memang mengakibatkan kerusakan cukup berat bagi industri kretek di Kudus. Namun, pelan tapi pasti industri kretek dengan mudah bangkit lagi. Itu karena industri kretek terlampau digandrungi penikmatnya.

Dame Gladys Cooper, bersama rokoknya dalam memerankan tokoh Eva, pada filmnya berjudul The Girls of Gottenberg. (Bassano/Rotary Photographic )

"Pemerintah Hindia-Belanda sudah mencium nilai ekonomis industri kretek di dalamnya," tambah Noertjahyo dalam bukunya. Dengan kegemilangan industri kretek, pajak tembakau menjadi salah satu pemasukan bagi pemerintah kolonial.

Menurut Lance Castles dalam bukunya, "pajak tembakau pada tahun 1938 mencapai Rp.1.790.000, atau 6,2% dari total pemasukan pajak dan bea."

Castles menulis dalam buku berjudul Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus yang terbit pada 1982.

"Dua puluh tahun kemudian (1959) jumlah itu telah melejit menjadi Rp 244.930.000 dan merupakan 18,2% dari total penerimaan pajak dan bea bagi pemerintah kolonial," imbuhnya. Jadi, dalam 20 tahun kenaikannya mencapai hampir 137 kali lipat (13.700%).

Hal itulah yang lantas membuat pemerintah kolonial tetap dapat meraup keuntungan. Hingga pasca kemerdekaan, pemasukan kas negara telah banyak diisi oleh keuntungan dari industri kretek.