Industri Kretek: Prestasi Pribumi dan Keuntungan Pemerintah Kolonial

By Galih Pranata, Rabu, 18 Mei 2022 | 11:00 WIB
Potret 1954, para perempuan menyortir daun tembakau di perkebunan tembakau Tandjong Morawa di Serdang, Sumatera Timur. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Bagaimanapun, industri kretek telah jadi bagian dari kisah sukses negeri ini. "Kretek menjadi salah satu tonggak bangsa yang ditancapkan lebih dari 100 tahun lalu," tulis Noertjahyo.

J.A. Noertjahyo menulis dalam sebuah bab berjudul Sigaret Kretek, Tonggak Bangsa. Bab itu masuk dalam buku 1000 Tahun Nusantara yang terbit pada 2000.

Industri kretek berjasa dalam "pemasukan uang bagi negara, menggelindingkan perekonomian rakyat, sekaligus menampung sejumlah besar tenaga kerja," terusnya. 

Industri ini telah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa ada anak bangsa yang brilian, yang mampu menciptakan dan menunjukkan prestasi besar. Hal itu bisa dibuktikan sejak awal kemunculan kretek.

Menurut Noertjahyo, pada awal kelahirannya itu, kretek umumnya dibungkus dengan klobot—tongkol jagung, baik yang dipungut dari jagung muda maupun setelah berusia tua.

Sangat sedikit produsen yang menggunakan bungkus kelaras atau daun kawung, kecuali kesulitan memperoleh klobot. Batang-batang rokok hanya diikat dengan jumlah tertentu (kebanyakan 10-20 batang per ikat) untuk dipasarkan.

Belum dikenal kertas pembungkus, sehingga rokok bisa disebut 'bertelanjang bulat' di pasaran. Cara penjualannya pun kebanyakan dari tangan ke tangan, secara kecil-kecilan.

Tidak ada kios khusus rokok, dan produsen membuatnya sebagai kegiatan keluarga. Meski perlahan, rokok kretek ternyata sangat digemari masyarakat, sehingga terus berkembang jumlah produksinya untuk bisa memenuhi permintaan.

Dari Kudus kerajinan membuat kretek merembet ke daerah-daerah lain, sampai ke Semarang, Surakarta, bahkan Jawa Timur. Produsennya pun tidak lagi terbatas di kalangan pribumi, tetapi juga keturunan Cina.

Ramuan pencampur tembakau pun mengalami berbagai uji coba mengikuti kreativitas produsen dan selera konsumen. Sampai pada akhirnya ditemukan formula "paten" yang terdiri dari tembakau, cengkih dan saos.

Permulaan abad ke-20 dicatat sebagai fajarnya kebangkitan industri kretek, yang terus berkembang dan menimbulkan persaingan antara para produsen. Di Kudus, persaingan sangat sengit terjadi antara produsen pribumi dan keturunan Cina.

Tak tanggung-tanggung, persaingan produsen pribumi dan keturunan Cina ini menimbulkan konflik. Bahkan, sampai terjadi ledakan kerusuhan di Kudus pada 31 Oktober 1918.

Kerusuhan itu memang mengakibatkan kerusakan cukup berat bagi industri kretek di Kudus. Namun, pelan tapi pasti industri kretek dengan mudah bangkit lagi. Itu karena industri kretek terlampau digandrungi penikmatnya.

Dame Gladys Cooper, bersama rokoknya dalam memerankan tokoh Eva, pada filmnya berjudul The Girls of Gottenberg. (Bassano/Rotary Photographic )

"Pemerintah Hindia-Belanda sudah mencium nilai ekonomis industri kretek di dalamnya," tambah Noertjahyo dalam bukunya. Dengan kegemilangan industri kretek, pajak tembakau menjadi salah satu pemasukan bagi pemerintah kolonial.

Menurut Lance Castles dalam bukunya, "pajak tembakau pada tahun 1938 mencapai Rp.1.790.000, atau 6,2% dari total pemasukan pajak dan bea."

Castles menulis dalam buku berjudul Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus yang terbit pada 1982.

"Dua puluh tahun kemudian (1959) jumlah itu telah melejit menjadi Rp 244.930.000 dan merupakan 18,2% dari total penerimaan pajak dan bea bagi pemerintah kolonial," imbuhnya. Jadi, dalam 20 tahun kenaikannya mencapai hampir 137 kali lipat (13.700%).

Hal itulah yang lantas membuat pemerintah kolonial tetap dapat meraup keuntungan. Hingga pasca kemerdekaan, pemasukan kas negara telah banyak diisi oleh keuntungan dari industri kretek.