Kebiasaan Merokok Sultan Agung dan Erotisme Roro Mendut Menjual Rokok

By Galih Pranata, Kamis, 19 Mei 2022 | 09:00 WIB
Cover buku novel gubahan Y.B. Mangunwijaya yang berjudul Rara Mendut: Sebuah Trilogi yang terbit pada 2008. (Rara Mendut: Sebuah Trilogi)

Nationalgeographic.co.id—Embrio kretek lahir dari kebiasaan masyarakat yang mengisap rokok. Tidak ada catatan untuk mengetahui secara pasti kapan penduduk Indonesia mulai merokok.

Menurut Solichin Salam dalam tulisan Noertjahyo, di tahun 1624 "para pembesar Jawa di Keraton Kartasura sudah gemar mengisap rokok dari tembakau."

J.A. Noertjahyo menulis dalam sebuah bab berjudul Sigaret Kretek, Tonggak Bangsa. Bab itu masuk dalam buku 1000 Tahun Nusantara yang terbit pada 2000.

Tak mengherankan jika sudah ada budaya merokok di Keraton Kartasura dan Mataram sejak abad ke-17. Thomas Stamford Raffles dan De Condolle menyebutkan bahwa tembakau dan kebiasaan merokok telah masuk ke Pulau Jawa sekitar tahun 1600.

Bahkan, Amen Budiman dan Onghokham menyebut beberapa kesaksian tentang Sultan Agung (Raja Mataram 1613-1645) adalah seorang perokok berat.

"Kisah romantis yang terkait dengan rokok di masa pemerintahan Sultan Agung itu adalah kisah Roro Mendut-Pranacitra," tulis Noertjahyo.

Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Kadipaten Pati yang dipimpin Adipati Pragola memberontak kepada Sultan Agung dari Kerajaan Mataram.

"Pemberontakan Pati itu berhasil dihancurkan oleh pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung bersama Tumenggung Wiraguna. Adipati Pragola tewas, dan seluruh harta, termasuk istri-istrinya menjadi rampasan perang," tulis Dewanto Samodro.

Dewanto menulis sebuah artikel kepada Sekertariat Kabinet Republik Indonesia dalam artikel berjudul Rara Mendut dan Daulat Negeri Kretek yang terbit pada 30 September 2015.

Ia menulis bahwa, "Salah satu rampasan perang yang diperoleh dari Pati adalah Roro Mendut, selir kesayangan Adipati Pragola. Roro Mendut diserahkan kepada Tumenggung Wiraguna. Namun, Roro Mendut menolak untuk menjadi selir Tumenggung Wiraguna."

Karena tak bersedia menjadi selir Turnenggung Wrraguna yang telah berusia tua itu, Roro Mendut dihukurn membayar pajak tiga real sehari.

Untuk memenuhi denda yang begitu besar, Roro Mendut berusaha membuat dan menjual rokok. Ia menjual rokok yang dia rekatkan dengan ludahnya dan telah ia hisap.