Bandung Pernah Jadi Ibu Kota Hindia Belanda Selama Beberapa Hari

By Galih Pranata, Jumat, 20 Mei 2022 | 13:00 WIB
Gouvernements Bedrijven (GB) yang saat ini dikenal dengan Gedung Sate di Bandung. (Arsip Pemerintah Provinsi Jawa Barat)

Nationalgeographic.co.id—Setelah Inggris meninggalkan pulau Jawa, kedudukan daerah Priangan yang subur nan makmur semakin penting bagi perekonomian pemerintah kolonial. Berbagai fasilitas publik terus dibangun di sana.

"Pembangunan tersebut telah merubah wajah Bandung dari sebuah kampung yang berada di pedalaman hutan belantara menjadi sebuah kota yang strategis dan impian setiap orang," tulis Iwan dalam jurnalnya.

Iwan Hermawan menulis dalam jurnal Arkeologi Masa Kini, berjudul Bandung Sebagai Ibukota Hindia Belanda yang terbit pada tahun 2010.

Melihat posisi Bandung yang semakin strategis, pada tahun 1819, Dr. Andries de Wilde mengajukan saran kepada pemerintah Belanda. Saran tersebut meminta pemerintah kolonial agar ibu kota Karesidenan Priangan dipindah dari Kabupaten Cianjur ke Kabupaten Bandung.

"Alasan pemindahan ibu kota tersebut adalah agar dapat memberikan dampak positif, sekaligus mempermudah usaha pengembangan wilayah pedalaman Priangan," terangnya.

Usulan tersebut baru direspon oleh pemerintah 37 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1856, setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Charles Ferdinand Pahud bersedia untuk pemindahan ibu kota.

Haryoto Kunto dalam bukunya Wadjah Bandoeng Tempo Doeloe (1984) menyebut, "perintah pemindahan tersebut baru dilaksanakan oleh residen Priangan, Van der Moore, pada tahun 1864, bertepatan dengan meletusnya Gunung Gede yang menggoncang Cianjur."

Dari ibu kota Karesidenan Priangan, status kota Bandung kembali meningkat. Bandung didaulat sebagai Gemeente (kotapraja) pada 1 April 1906. 

Peningkatan status ini didasarkan pada Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan pada tahun 1903. Undang-Undang itu berisi: Desentralisasi (Decentralisasi Besluit), dan Ordonansi Dewan Kota (Locale Raden Ordonantie) yang dibuat tahun 1905.

Kunto menambahkan, "pada awalnya Gemeente dipimpin oleh Asisten Residen Priangan selaku pimpinan Dewan kota (Gemeenteraad), namun sejak tahun 1913 Gemeente dipimpin oleh seorang burgemeester atau walikota."

Posisi yang strategis juga tempat yang nyaman, membuat status Bandung terus meningkat. Pada tanggal 1 Oktober 1926, Kota Bandung kembali meningkat statusnya menjadi Stadsgemeente.

Dengan status tersebut, "Bandung diberi wewenang untuk mengelola kota dan mengurus pemerintahannya sendiri," terusnya.

Lebih jauh lagi, Bandung yang banyak didambakan penduduk Hindia-Belanda, diminta untuk dinaikkan lagi statusnya. Kali ini, Bandung direncanakan sebagai ibu kota negara, Hindia Belanda.

Menurut Iwan Hermawan, gagasan pemindahan ibu kota Hindia Belanda muncul tatkala Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum bertakhta. Ya, gagasan yang memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung.

Selama proses pemindahan ibukota dari Batavia, sarana transportasi bebas hambatan dibangun antara Batavia-Bandung. (Universiteit Leiden)

Adanya desas-desus pemindahan ibu kota Hindia Belanda ternyata mendapat dukungan dari Prof. Ir. J Klopper, Rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang dikenal dengan nama ITB).

"Sebagai kota yang disiapkan sebagai Ibu kota Hindia Belanda, Bandung melengkapi dirinya dengan Museum Geologi yang dipindah dari Batavia pada tahun 1924," tambah Iwan.

Bandung telah dipersiapkan sebaik mungkin. Dimulai dari pemindahan saluran transportasi udara hingga stasiun radio—dari Batavia ke Bandung.

Baca Juga: Kiprah Tionghoa dalam Perkembangan Institut Teknologi Bandung

Baca Juga: Nikmati Wisata Bandung Tempo Dulu: dari Jalanan Kaya Akan Sejarah Hingga Kuliner Nan Renyah

Baca Juga: Alun-Alun Kota Bandung: Dari Tempat Sakral hingga Ruang Publik

Baca Juga: Munculnya Kreativitas Masyarakat Bandung dalam Pariwisata Kolonial

  

Depresi besar sempat menghantam perekonomian Hindia-Belanda di tahun 1930, sehingga proses pemindahan berhenti. Sampai akhirnya muncul desakan dari pasukan Jepang yang membuat pemindahan harus tetap berlangsung.

Kantor Gubernur Jenderal Hindia-Belanda baru pindah ke Bandung pada awal Maret 1942. Itupun ketika posisi Belanda di Batavia sudah terdesak oleh Jepang.

Nahas, baru berbenah selama beberapa hari secara de facto sebagai ibu kota Hindia Belanda, Kota Bandung harus jatuh ke tangan Jepang.

Perjanjian di Kalijati, Subang pada 8 Maret 1942, memaksa Belanda untuk menyerah kepada Jepang. Begitupun dengan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Tjarba van Starkenburg Stakhouwer yang ditawan Jepang dan diasingkan ke Formosa, Taiwan.