Tanaman Lahan Basah: Akankah Jadi Harapan Saat Naiknya Permukaan Laut?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 19 Mei 2022 | 16:00 WIB
Percobaan para ilmuwan dari 1987 mengenai respons lahan basah terhadap karbon dioksida di Global Change Research Wetland, AS. Mungkinkah mereka jadi harapan bagi dataran ketika permukaan air laut naik karena perubahan iklim? (Tom Mozdzer)

Nationalgeographic.co.id—Lahan basah seperti rawa-rawa, paya, dan gambut, mungkin menjadi harapan di masa depan ketika permukaan air laut makin naik. Menurut para ilmuwan, lewat jurnal di Science Advances, peningkatan karbon diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekstra bagi tumbuhan di lahan gambut untuk melampaui kenaikan permukaan laut.

Temuan mereka itu dituliskan dalam makalah berjudul Accelerated sea-level rise is suppressing CO2 stimulation of tidal marsh productivity: A 33-year study yang dipublikasikan pada Rabu, 18 Mei 2022.

“Terlalu banyak air adalah stres, stres lingkungan, untuk respons tanaman terhadap karbon dioksida yang tinggi,” kata penulis utama Chunwu Zhu, ahli biologi dari Chinese Academy of Sciences, Tiongkok, dikutip dari Eurekalert.

Lahan basah adalah rumah bagi beberapa eksperimen futuristik bagi ilmuwan. Para peneliti menjalankan simulasi iklim di tahun 2100, dan mengandalkan data eksperimen yang dimulai dari 1987 untuk mengamati bagaimana peningkatan karbon dioksida berdampak pada pertumbuhan. Eksperimen itu mereka lakukan pada tumbuhan lahan basah dalam beberapa ruang di Global Change Research Wetland, Smithsonian Environmental Research Center, AS.

15 ruang terbuka pada eksperimennya, Zhu dan timnya meningkatkan konsentrasi karbon dioksida dengan tambahan 340 bagian per juta (sekitar dua kali lipat tingkat karbon dioksida tahun 1987). Lalu, 15 ruang lainnya berfungsi sebagai kontrol—tanpa tambahan karbon dioksida.

Mereka berfokus pada 10 ruang dengan tanaman “C3”, sebagai kelompok tanaman yang diketahui merespons tinggi karbon dioksida. Tanaman itu mencakup sekitar 85 persen spesies tanaman di Bumi, terang mereka.

Eksperimen pun berjalan dalam dua dekade pertama. Pertumbuhan tanaman di ruang karbon dioksida yang lebih tinggi, di atas tanah, rata-rata 25 persen lebih banyak ketimbang tanaman di ruang yang tidak diberikan.

Dampaknya bahkan lebih kuat di bawah tanah, yakni pertumbuhan akarnya jadi lebih banyak 35 persen karena dipicu karbon dioksida yang tinggi. Pertumbuhan akar sangat penting untuk kelangsungan hidup di lahan basah, karena dapat membantu membangun tanah dan menjaga fondasi tumbuh ke atas, bahkan saat air laut terus naik.

“Meski peningkatan karbon dioksida berkontribusi pada kenaikan permukaan laut, itu juga meningkatkan kemampuan rawa untuk bertambah secara vertikal selama tahun-tahun awal percobaan,” lata Donald Cahoon, rekan penulis dan ahli ekologi di U.S. Geological Survey.

Namun hasilnya menurun setelah 2005, bahkan menghilang. Selama 14 tahun terakhir data dalam penelitian, tidak ada perbedaan rata-rata pertumbuhan tanaman antara ruangan kaya karbon dioksida dan normal.

“Efek CO2 selalu menjadi salah satu lapisan perak dari perubahan iklim,” kata Adam Langley, ekolog di Villanova University, AS, yang juga jadi rekan penulis penelitian. “Yah, setidaknya tanaman akan tumbuh lebih banyak. Tetapi kita liha di sini bahwa mereka tidak melakukannya. Jadi lapisan perak bagi saya menjadi sedikit lebih suram.” 

Zhu dan rekan-rekan mencari penjelasan atas fenomena dalam eksperimen ini. Kemungkinan besar adalah curah hujan, suhu, air asin selama musim tanam atau keberadaan nutrisi tanah yang penting seperti nitrogen.