Repotnya Petugas Kebersihan Sampah di Surabaya Semasa Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 20 Mei 2022 | 08:00 WIB
Suasana di Jalan Cina, Gemeente (Kotamadya) Surabaya pada tahun 1919. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Pertumbuhan sosial dan ekonomi di Surabaya sudah tinggi di masa Hindia Belanda. Bisa dikatakan, Surabaya adalah metropolitan seperti Batavia versi di kawasan timur Jawa.

Kemajuan kota Surabaya ditunjukkan pula pada birokrasinya pada masa itu. Mereka telah memiliki sistem pembuangan sampah yang berbeda dari daerah lainnya di Hindia Belanda.

Mahasiswa dan dosen di Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, yakni Nur Lailatun Ni'mah dan Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, menerangkannya di dalam jurnal Verleden: Jurnal Kesejarahan pada Desember 2017. Mereka menerangkan, bahwa wewenang kebersihan kota Surabaya ada pada Reinigingsdienst (Petugas kebersihan).

Pada awal terbentuknya, warga kota Surabaya diwajibkan untuk membakar sampah rumah tangganya sendiri pada tong besi yang disediakan Reinigingsdienst. Tapi cara ini kurang efektif karena kurang bersih total, apa lagi sampah-sampah di jalan masih dapat dijumpai.

Reinigingsdienst kemudian membuat jasa pengangkutan jasa, dan sarana dengan gerobak roda dua. Pada 1916, gerobak-gerobak itu diganti jadi beroda empat agar memudahkan perpindahan tempat.

"Pelaksanaan pembersihan paling bawah dilakukan oleh kuli dan kusir yang bertugas melakukan pengambilan sampah di tempat-tempat yang ditentukan dan sesuai dengan bagian masing-masing," tulis mereka dalam makalah berjudul Reinigingsdienst: Tata Kelola Sampah dan Fungsinya di Kota Surabaya tahun 1916-1940.

Para pekerja ini dipekerjakan tergantung intensitas pada suatu sektor, dan diupah rata-rata seperti kalangan pribumi lainnya.

Mereka juga diberi tempat khusus untuk tinggal, biasanya di sekitar kompleks kandang dan tempat pembuangan akhir seperti di Sidodadi, Karang Menjangan, dan Dupak. Nur dan Ikhsan menjelaskan, sampai pada tahun 1930, Reinigingsdienst telah memiliki empat asrama yang layak beserta dapur, area privat dan kamar mandi. Bahkan, mereka punya taman pada sebuah komplek di sekitar Kampung Dupak tahun 1931.

Pada proses pekerjaannya, seperti kuli bangunan, mereka punya mandor yang mengawasi. Struktur mandor ini pun berdasarkan etnis. Misalnya, werkbass atau mandor kerja adalah struktur tinggi dengan rincian kelas satu dan dua yang merupakan orang Belanda. Sedangkan mandor kelas tiga adalah bumiputra. Ada pula hoofdmandoer atau kepala mandor yang seluruhnya bumiputra.

“Di bawah kedua jenis mandor…terdapat mandor-mandor yang langsung membawahi para kuli dari bagian selokan, pengambilan sampah, pengurus TPA, dan penyapu jalan,” jelas Nur dan Ikhsan.

“Para mandor ini dapat dipastikan merupakan orang bumiputra. Setiap mandor rupanya memiliki nota jumlah kuli yang bekerja menurut bagiannya masing-masing setiap hari. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pekerjaan pembersihan dilakukan dengan baik tanpa ditemukan keluhan-keluhan mengenai ketidakberesan nantinya oleh warga kota.”

Pemandangan Willemskade di Surabaya sekitar 1910. Tampak gedung Algemeene menjadi tengara ikonik kawasan Jembatan Merah. (KITLV)