Repotnya Petugas Kebersihan Sampah di Surabaya Semasa Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 20 Mei 2022 | 08:00 WIB
Suasana di Jalan Cina, Gemeente (Kotamadya) Surabaya pada tahun 1919. (KITLV)

Di atas mandor pekerja lapangan itu, ada mandor lain yang memberikan perintah untuk pembagian tugas, menangani permintaan berlangganan, menetapkan jadwal operasi gerobak sampah, dan berkonsultasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan dokter hewan.

Mereka punya hak untuk membuat peraturan untuk membersihkan kota, termasuk memecat pekerja. Sering kali, hubungan pekerja, mandor, dan pengawas mengalami ketegangan yang berimbas pada pertikaian, mogok kerja, hingga pembunuhan.

Nur dan Ikhsan mendapati, adap perbedaan peraturan kuota sampah yang harus dikumpulkan tiap warga. Peraturan itu berhubungan dengan pemisahan ras dan etnis di Hindia Belanda yang telah mengakar.

   

Baca Juga: Ekonomi Sirkular: Siasat Mewajibkan Limbah Didaur Ulang di Segala Lini

Baca Juga: Kebijakan Agraria Raffles Menjadi Dasar Pertanahan di Hindia-Belanda

Baca Juga: Kesadaran Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk Melestarikan Hutan

Baca Juga: Warga Surabaya dalam Pusaran Politik Sehari-hari Zaman Hindia Belanda

    

Misal, perkampungan Eropa, Tionghoa, dan Arab, dibatasi menghasilkan sampah 0,06 meter kubik per hari. Sementara kalangan pribumi adalah 0,012 meter kubik per hari. Meski demikian, jika warga kota punya kelebihan sampah, akan dikenai retribusi pembayaran setiap enam bulan sekali.

Sampah yang diangkut dikumpulkan di tempat yang jauh dari masyarakat di luar kota. Reinigingsdienst membasmi lalat dan larva di timbunan sampah mereka dengan semprotan campuran gula, racun tikus, dan air.

Hingga akhirnya di tahun 1930 Gezondheidsdienst (Dinas Kesehatan) turun tangan dengan pembersihan serupa. Kemudian muncul daur ulang, terutama di TPA Dupak dan Wonokusumo sebagai pupuk kendang.

Petugas kebersihan tidak hanya mengelola sampah tapi juga septik tank. Mereka dilengkapi dua pompa dan dua tangka. Limbah ini disimpan di salah satu tempat pembuangan, agar tidak menyerang kesehatan masyarakat kelak.

Tugas lainnya yang dilakukan petugas kebersihan adalah membersihkan bangkai hewan. Warga kota biasanya sering membuang bangkai ke kali, sehingga menghasilkan bau tidak sedap dan sering alirannya tersendat. Mereka pun pada akhirnya mendirikan tempat pengolahan bangkai hewan dan penjagalan yang dilengkapi mesin pembakaran di daerah Pegiran.