Nationalgeographic.co.id—Surabaya yang kini begitu megah berdiri, seolah menjadi kota metropolitan kedua di Pulau Jawa. Kota ini punya sejarah begitu panjang yang melibatkan ragam pemikiran warganya.
Ada banyak tokoh pergerakan yang punya hubungan dengan kota ini, seperti yang pernah dibahas sebelumnya. Akan tetapi, dalam historiografi sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, narasinya selalu tentang penindas dan memicu reaksi dari yang ditindas.
Narasi inilah yang dikritik oleh Andi Achdian, sejarawan Universitas Nasional dan pegiat sejarah di organisasi Sejarah Lintas Batas (SINTAS). Padahal, menurutnya, kehidupan di kota-kota kolonial memiliki permasalahan sendiri yang membuat adanya pembicaraan tentang politik di kesehariannya. Termasuk, sentimen rasial yang sangat kuat dalam struktur politik.
"Saya rasa politik pergerakan anti-kolonial dilihat semata-mata sebagai problem orang (bumiputra Indonesia). Sedikit sekali persinggungan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain; bagaimana dengan orang-orang Eropa, Tionghoa, Indo-Eropa di dalam pergerakan anti kolonial, posisi mereka seperti apa, dan bagaimana persinggungan (dengan semuanya)," ujar Andi yang membahas Politik Sehari-hari di Kota Kolonial dalam webinar Partihistori yang diadakan SINTAS.
"Kalau pun ada, nanti yang dibahas orang Tionghoa dalam pergerakan (dengan kelompoknya ini) ini, orang Indo-Eropa dalam pergerakannya sendiri, tidak ada koneksi di antara mereka. Seolah masing-masing jalan sendiri."
Munculnya pergerakan di Surabaya tidak terlepas dari perkembangan pesat kota itu yang terjadi pada abad ke-19, lanjutnya. Surabaya menjadi kota dagang yang penting bagi pebisnis perkebunan yang tidak begitu menyukai Batavia yang sangat birokratik dan formalistis. Hal serupa juga terjadi pada Semarang yang industrinya berkembang.
Baca Juga: Beringin dan Alun-Alun bagi Aktivitas Masyarakat Jawa Tahun 1910
Baca Juga: Agrarische Wet dan Dinamika Pola Pemukiman di Surabaya Abad ke-19
Baca Juga: Catatan Tionghoa, Ketika Putra Mahkota Tsar Rusia Melancongi Batavia
"Kalau di Surabaya banyak manufaktur metal, misalnya pada menjelang Perang Dunia Kedua, [di sana] memproduksi tank, kapal, galangan kapal. Ini spesifik bahwa kota ini berkembang dalam artian industrial base di dalam konteks masyarakat kolonial saat itu," jelas Andi.
Namun perkembangan kota itu memicu ketimpangan struktur secara ekonomi dan fisik. Dalam sensus Surabaya sekitar 1930-an, orang pendapatan tahunan di atas 1.000 gulden bisa hidup dengan nyaman dengan menyewa rumah dan mampu berplesiran. Sebesar 86 persen kelompok dengan pendapatan ini adalah orang Eropa, 3,2 persen orang Tionghoa dan Timur Asing, dan 0,04 persen kalangan Bumiputra.
Pada abad ke-14 sampai ke-19, perkembangan kota ini berpusat di sekitar pelabuhan yang kebanyakan diisi oleh tentara, angkatan laut, dan pejabat birokrat kolonial. Laju permukiman berubah pada pertengahan abad ke-19 dengan munculnya kelompok sosial baru seperti pengacara, insinyur, dan profesional, dan orang bebas dari kalangan menengah (partikelir).
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR