Perkembangan itu membuka deret permukiman kelas atas hingga pertengahan Surabaya di sekitar Darmo, yang menggeser perkampungan-perkampungan jelata.
"Jadi ada borjuasi kota di koloni-koloni saat itu," terang Andi yang juga menerbitkan penelitian tentang kelompok partikelir di Jurnal Masyarakat dan Budaya pada 2018.
"Mereka menyebut sebagai De Partriculiere—pengusaha, ya, istilahnya. Mereka bekerja di luar pemerintahan, para pengusaha di perkebunan, dan mereka bilang [bahwa diri mereka] di sini 'yang menjadi penggerak utama, yang membentuk kemakmuran di Hindia'."
Kerap kali, partikelir selalu berlawanan dengan amtenaar (PNS atau pejabat pemerintahan). Mereka tidak menyukai sistem negara kolonial yang patronistik, artinya hanya kelompok yang punya wewenang yang bisa berkuasa. Situasi seperti ini seolah punya peran untuk pembangunan koloni lewat politik etisnya.
"Mereka (partikelir) bilang: Enggak cuma negara, kita yang punya modal, kita yang menggerak kemajuan," Andi melanjutkan.
Jadi, meski sama-sama orang Eropa, perselisihan politik demi kepentingan terjadi akibat perbedaan paham antara liberal yang dianut kaum borjuis, dan patronistik yang dipegang pejabat kolonial. Bahkan, tidak jarang kalangan partikelir mengejek pemerintah kolonial, bahkan menulisnya dengan citra yang jelek dalam koran seperti Soerabaiasch Handelsblad.
Diskusi politik kalangan partikelir muncul dengan klub atau asosiasi, terang Andi. Diskusi untuk mengkritik pemerintahan di klub yang kita kenal sekarang seperti yang terjadi kafe atau toko kopi, terjadi karena pemerintah kolonial membebaskan Hindia Belanda dari politik di negeri induk. Akibatnya, pada akhir abad ke-19 tidak partai politik yang menaungi gagasan itu.
"Suara-suara yang muncul, isu-isu yang dibahas, orang-orang di dalam klub ini membaca koran, orang berdiskusi tentang politik kontemporer, mengkritik pemerintah," Andi menerangkan. "Jadi mirip dengan [filsafat ruang publik] Jürgen Habermas, kafe dan klub menjadi tempat gagasan politik muncul, dan di sinilah watak kolonialnya terlihat."
Baca Juga: Menelusuri dan Meluruskan Sejarah dari Istilah 'Jancok' di Surabaya
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR