Gementeraad atau Dewan Kota yang berhasil diwujudkan itu berisi kalangan yang feodal-kolonial. "Jadi ketika mereka membawa orang-orang Tionghoa, Timur Asing, Bumiputra, itu adalah orang-orang yang ditunjuk.". Andi menjabarkan, "Semua bilang, ini pemerintahan kolonial yang deodal, menghilangkan arti penting demokrasi kewargaan di dalam institusi dewan kota ini."
Inilah yang dipermasalahkan Panti Harsojo. Kalangan feodal ini cenderung tidak berkompeten dan diibaratkan ayam tanpa kepala—hanya menjadi boneka.
"Kami memiliki kemampuan membuat pertimbangan sendiri tentang apa yang terbaik bagi kepentingan kami (bumiputra)," protes Panti Harsojo lewat koran Het Niewus van den Dag tanggal 17 Oktober 1908.
"Kami juga memiliki sejumlah orang pribumi dengan pengetahuan yang luas dan kemampuan berbicara dalam bahasa Belanda, paling tidak memahami apa yang disampaikan di dalam dewan. Anggota-anggota peribumi—yang hanya bisa berbicara bahasa Melayu—duduk di dewan tanpa menyumbangkan apa pun."
Pergerakan politk di Surabaya terus meningkat silih berganti. Andi bahkan menyinggung tentang isu-isu yang diangkat, terutama sejak munculnya fraksi sosialis, seperti masalah kesehatan, pajak, dan kesejahteraan masyarakat yang disuarakan Musso.
"Saya ingin membuat satu kritik terhadap pendekatan-pendekatan yang ada atau kajian-kajian yang pernah ada dalam periode, khususnya saat kebangkitan nasionalis Indonesia," kata Andi, mengomentari narasi sejarah pergerakan yang cenderung umum digunakan sejarawan.
"Jadi kolonialisme sering kali dilihat sebagai bentuk politik yang homogen dari pusat di Batavia, sampai pada wilayah-wilayah lain. Saya melihat dari riset saya di Surabaya, sebenarnya ada banyak hal yang berbeda, dan negara kolonial tidak begitu sama sekali menguasai keseluruhannya."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR